"Good morning, Genta!" Helena menyapa heboh si Phantera yang sedang berjalan seorang diri di lorong. Laki-laki dengan seragam olahraga itu hanya melirik sejenak kemudian kembali berjalan, tak memedulikan kehadiran Helena.
"Ikut senam bareng juga? Kirain enggak, soalnya aku pikir kamu masih sakit." Gadis itu tak menyerah untuk mendapatkan perhatian si pujaan hati. "Aku denger dari Bagas, katanya kamu sempet pingsan beberapa hari lalu, terus dianterin Yola pulang. Kenapa nggak minta tolong sama aku aja? Yola tuh berisik banget loh, kalau sama aku kan beda."
"Cuma ada Yola waktu itu," jawab Genta acuh tak acuh.
"Oh ... jadi cuma terpaksa. Bagus deh. Pokoknya jangan deket-deket sama Yola, dia tuh super aneh anaknya." Helena malah menjelek-jelekkan si ketua keputrian. "Kamu ikut senam, 'kan? Di sebelah mana? Nanti aku ikut, ya."
Hari ini sekolah tengah memgadakan acara senam bersama di lapangan utama. Tidak ada peristiwa khusus, hanya kegiatan rutin bulanan. Senam ini dilakukan di hari jumat akhir bulan dengan tujuan agar siswa dapat sehat karena berolahraga.
"Gue di bagian belakang, beda tempat sama kelas lo."
"Ya gak apa-apa nanti aku ikut. Nggak akan ketahuan guru kok, asal nggak ada cepu." Sosok berkulit seputih susu itu telah memiliki rencana matang ternyata. "Boleh, 'kan, Ta?" Matanya berbinar menunggu jawaban Genta.
Genta diberi pertanyaan tak menjawab dengan sepatah kata pun selain anggukan kepala, bahkan mata tajamnya tetap memandang ke depan memperhatikan jalan.
Helena sontak bersorak senang. "Yeay! Thank you, Genta." Dia memeluk tubuh laki-laki tinggi tersebut dari samping. Genta sendiri merasa sangat risih, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
Kelas 12 IPS 2, yakni kelas Genta telah berada di depan mata, yang berarti inilah saat perpisahan bagi Helena. Gadis tinggi itu merasa agak sedih karena waktu yang dia habiskan bersama Genta tak lebih dari dua menit. Mau bagaimana lagi, bila tetap mengikuti Genta sampai ke kelasnya, pastilah laki-laki itu merasa risih kemudian menjauhi dirinya. Helena harus mundur untuk sesaat.
"Yah ... udah sampai depan kelas kamu. Ya udah ya, sampai ketemu lagi, Genta! Bye-bye!" Gadis itu berlari menjauhi Genta seraya memberikan flying kiss untuk laki-laki yang bahkan tak peduli akan keberadaannya. Duh, miris sekali, bukan?
...
Speaker sebesar badan itu mengalunkan lagu paling trending dalam beberapa hari terakhir. Kegiatan senam akan dimulai beberapa menit lagi, sebelum itu murid-murid diperintahkan untuk berkumpul dan berbaris terlebih dahulu di lapangan. Agar suasana tidak terlalu serius, diputarlah lagu-lagu kekinian oleh anggota OSIS yang hari ini bertugas sebagai pemimpin senam.
"Ganti, woy! Lagu apaan ini nggak ada semangat-semangatnya. Bikin galau pagi-pagi." Jenardian berteriak pada pengatur speaker yang berjaga di sebelah panggung senam. Bukannya apa, lagu yang diputar itu lagu dari Mahalini yang berjudul Sial. Lagunya tak jelek, hanya tak cocok diputar di acara penuh semangat seperti saat ini. "Lagu DJ Remix tiktok aja lah!" lanjut laki-laki itu yang membuat dia mendapatkan cemoohan karena selera yang aneh.
"One Direction lah, ngapain remix-an tiktok?!" Salah seorang murid menyahuti.
"Ya mending DJ Remix dong, kalau One Direction bikin makin nangis karena gak comeback-comeback." Seperti ultimatum bagi pecinta One Direction. Tak heran, Jeje dengan mulut ceplas-ceplosnya. Genta yang berdiri di sebelah laki-laki itu pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Jeje itu super berisik dan tak jarang kalimat yang ia ucapkan cukup nyelekit, jadi jangan coba-coba berdebat dengan si ketua Batavia.
"Kill Bill aja deh, lagunya mbak SZA. Kita main adil, lagunya gak sedih-sedih amat, tapi tetep sedih." Jeje masih terus memperdebatkan lagu dengan si pengatur speaker. Dia bahkan berteriak-teriak karena dia berada di barisan paling belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Teen FictionCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.