Di ufuk timur cerah gemerlapan, sang surya mulai bangun siap merajai pagi. Ia perlahan bergerak menuju singgasana guna membagikan cahayanya yang hangat untuk tiap makhluk hidup. Tak terlihat adanya kumulonimbus di garis horison, yang ada malah burung-burung beterbangan meninggalkan sarang untuk mencari makanan.
Dari atas sini, dapat kulihat mobil dan motor berjajaran antri menunggu lampu berubah menjadi hijau. Pengemudinya merupakan manusia-manusia hebat yang tetap bertahan meskipun tahu kehidupan tak pernah berpihak. Mereka adalah para pelajar, pekerja, atau siapapun yang bergerak meraih sesuatu dalam kehidupan.
"Melody udah makan, 'kan?" Mami Genta datang, Jeje yang memaksa supaya beliau menghadiri acara penting kami. Kata Jeje, dia memiliki tiga orang ibu; yang pertama adalah ibun sebagai ibu kandung; kedua ibuku; dan yang terakhir adalah mami Genta. Oleh sebabnya, kehadiran mami merupakan sesuatu yang sangat spesial.
"Udah, Mi."
Semenjak kepergian Genta, mami dan Thera menjadi semakin dekat untuk menguatkan satu sama lain. Tidak terlihat adanya jarak meski sang penghubung telah pergi jauh. Hal ini jugalah yang membuatku ikut akrab dengan mami Genta, karena bagaimana pun juga, Jeje dan Thera adalah orang yang paling dekat denganku, sedang mereka berdua dekat dengan mami, inilah yang membuaku juga ikut akrab dengan ibu dari sosok bernama Gerald tersebut.
Setelah penguman kelulusan SMA, Thera juga berpamitan pergi kepada mami sebab ia hendak meninggalkan tempat ini guna menuntut ilmu ke benua merah nun jauh di sana. Namun, seperginya Thera, ternyata nasib mami tak jauh berbeda denganku. Tiap pesan yang beliau kirim tak pernah dibalas apalagi dibaca oleh Thera. Mami sedih, tetapi ia mengerti apa yang gadis itu rasakan, karenanya mami tak menuntut banyak.
"Kamu nggak mau makan lagi? Nanti acaranya panjang loh, pasti agak susah kalau mau curi-curi makan," peringat mami.
"Nggak deh, Mi. Nanti kalau aku laper, aku nyemil roti aja," ujarku sambil tersenyum.
Sang perias sibuk memasangkan melati pada sanggul di kepalaku. Harumnya sungguh menawan hingga membuat siapapun mabuk kepayang. Untung saja hari masih pagi, bisa-bisa aku dikira makhluk jadi-jadian karena wangi ini.
Kutatap diriku pada cermin, riasan indah memoles wajah. Tak pernah aku berdandan selengkap ini sebelumnya. Jika kata orang tua-tua, riasanku sangat manglingi. Manglingi sendiri berasal dari kata pangling yang berarti saat seseorang berhasil membuat orang lain tak sadar akan perubahan yang terjadi pada dirinya.
Terdengar ketukan pintu dari luar sana. Kami menatap pada sumber suara. Kudapati adanya dua orang gadis dengan warna kebaya yang berbeda. Ada Shella dengan kebaya berwarna dusty pink yang membungkus indah tubuh, ada pula Yola dengan rambut disanggul dengan kebaya berwarna abu-abu. Mereka tampak berkilauan pagi ini.
"Aw ... cantik banget," goda Shella begitu melihatku.
"Shell, jangan gitu lah! Malu tau," tegurku dengan pipi bersemu merah.
"Emang cantik, Mel." Yola ikut menyahuti.
Tak kusangka jika Yola sudi memakai kebaya yang Jeje berikan, yang mana artinya pakaian yang dia pakai selaras dengan apa yang Jeje berikan pada Yovan. Mengingat Jeje yang gencar mendekatkan keduanya seusai tahu alasan di balik pernikahan mereka, pasti ia sedang melompat bahagia saat ini.
Seperti apa yang semua orang tahu, hubungan Yola dan Yovan itu baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran, hanya ada cinta sepihak. Keduanya mencoba saling mengerti satu sama lain, sembari berusaha menerima hubungan yang menyatukan mereka dengan paksaan ini. Tak ada perubahan yang signifikan setelah pernikahan, mereka lebih mirip seperti sepasang sahabat yang tinggal satu rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Teen FictionCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.