Kantin siang hari ini sangatlah berisik. Lagu dangdut yang berjudul Juragan Empang mengalun kencang di pengeras suara kantin. Banyak orang mengeluh karena lagu yang diputar sangat tidak estetik untuk anak muda zaman sekarang, tetapi si pemutar tidak peduli, dia malah asik berjoget ria di bangku kantin tanpa repot mendengar protesan warga sekolah.
"Buset, pasti kerjaan Jeje nih!" Suara Monalisa Yolanda terdengar sangat cempreng dari pintu kantin. Ia mengerti tabiat laki-laki aneh tersebut. Jikalau boleh jujur, Yola mengakui bila suara Jeje sangat merdu, dia cocok menyanyikan lagu western bertempo sedang seperti Paris in Rain atau I Like Me Better When I'm With You, tetapi laki-laki yang menjabat sebagai ketua Batavia ini malah lebih suka lagu-lagu dangdut. Sangat tidak sesuai dengan suaranya.
"Euy! Surya Bangsa digoyang!" teriaknya meramaikan suasana.
Beberapa anak Batavia ada yang ikut berjoget ria bersama Jeje, selebihnya hanya bisa diam dan geleng-geleng kepala, Genta contohnya. Laki-laki itu tetap tenang melahap bakso, tak peduli kursi panjang yang diduduki bergoyang karena Jeje yang banyak tingkah. Bila sampai Genta jatuh karena kursi terbalik, lihat saja nasib Jeje nanti.
"Woy, Je, turun lo! Lo gak lihat ayang gue gak bisa makan gara-gara lo?" Yola menghampiri tempat anak Batavia biasa berkumpul ketika di kantin. Dia memprotes tingkah Jeje yang tak bisa anteng yang mana membuat Genta kesulitan makan.
Taukah fakta bahwa Monalisa Yolanda adalah salah satu dari tiga pengemar berat laki-laki bernama depan Phantera ini? Sama seperti Helena, Yola yang menjabat sebagai ketua keputrian di sekolah sangat menyukai Genta, bahkan secara terang-terangan menunjukkan rasa suka tersebut. Apakah Genta tahu? Jelas. Yola bahkan jauh lebih agresif dalam menunjukkan rasa sukanya daripada Helena. Genta sebenarnya agak risih, tapi mau bagaimana lagi, dia tak tahu harus berbuat apa.
"Lo gak usah ikut campur, Nenek Sihir!" balas Jeje tak terima.
Yola pun memberikan delikan mata sebal sambil mengacungkan jari tengah pada laki-laki tersebut.
Beralih dari Jeje, Yola mengambil tempat kosong di samping Genta untuk diduduki. Dengan satu tangan menumpu pada meja dan mata terfokus pada laki-laki berhidung mancung di hadapannya, Yola bertanya, "kamu lagi makan apa, Ta?"
"BUTA MATA LO?!" Jelas bukan Genta yang menjawab, sudah pasti ini Jeje.
Jenardian betul-betul menguras kesabaran Yolanda. Diambilnya sebuah sendok yang tersedia di meja kantin, lalu ia lempar benda stainless steel tersebut pada Jeje yang masih setia berdiri di atas kursi. Tepat sasaran, sendok itu berhasil mengenai perut Jeje yang mana membuat laki-laki tersebut menggerang kesakitan.
"Kagak gue restuin sama Genta baru tau rasa lo!"
"Lo bukan emaknya, gak usah sok!"
Yovan yang duduk tepat di hadapan Yola menertawai tingkah sang ketua dengan gadis bertubuh tinggi ini. Sebuah hiburan di tengah penatnya pelajaran matematika yang makin tak masuk akal.
"Ya elah, Yol, udah tau si Genta gak minat sama lo, masih aja dikejar-kejar," ejek si Yovansyah Agung.
"Ya serah gue lah. Gue yang ngejar Genta biasa aja tuh, kenapa lo yang repot?" Dia menyolot.
"Cari yang lain kek, masih banyak cowok di dunia ini."
"Coba kasih tau gue siapa cowok itu?"
"Gue misalnya." Yovan menggoda Yola sambil menaik-turunkan alis.
"Minimal ngaca!" Yolanda dengan mulut sepedas seblak level 50.
"GENTA!" Lagi. Di tengah pertengkaran antara Yola, Yovan, dan juga Jeje, suara cempreng—sekarang sedikit lebih lembut—memanggil nama Genta dari arah pintu masuk kantin. Seorang gadis berambut gelombang berlari kecil menuju tempat duduk laki-laki yang dipanggilnya. Sembari membawa sebuah kotak makan berwarna merah muda, Shella Mariska tersenyum manis pada Genta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Ficção AdolescenteCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.