Kaos hitam yang dipadukan dengan kemeja biru muda beserta celana coklat tua dan kacamata bulat membuat ketampanan Genta bertambah seribu kali lipat. Sejak langkah pertamanya di sekolah pada hari ini, semua mata terang-terangan menatapnya bak hewan langka di kebun binatang.
Tak jarang banyak orang yang memuji penampilan Genta. Salah satunya adalah Jenardian Wahyu Djatmiko yang melongo begitu melihat kedatangan si kawan sebangku.
"Anjir! Ada pangeran turun dari istana, brok!" hebohnya tak tau malu. Di lapangan basket outdoor dia berteriak sambil menunjuk Genta yang berjalan mendekat. "Buset, Bro, lo ganteng banget, seriusan! Pantesan cewek-cewek pada naksir," lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.
Tidak usah menolak fakta bila Phanthera Gerald memang setampan itu. Sudah tubuhnya tinggi, hidung mancung, pahatan rahang yang bagus, meski diberi pakaian compang-camping pun semua orang tetap memuji ketampanan Genta.
Hari ini tidak ada pelajaran sebab sekolah sedang mengadakan persiapan acara ulang tahun sekolah yang ke 23 tahun. Milad yang bertajuk 23 Baskara Raya ini mengusung konsep remaja muda bebas berkarya. Pada acara ini akan diadakan konser yang mengundang beberapa artis terkenal serta bazar. Semua orang baik alumni atau warga sekolah lain dapat hadir asalkan membeli tiket terlebih dahulu. Tujuan dari acara ini hanya satu, yakni promosi sekolah secara terbuka.
Jika ditanya siapa yang menjadi panitia pada acara milad, jelaslah anggota OSIS. Namun, bukan berarti Batavia hanya diam tanpa melakukan apapun—itu tak mungkin. Mereka menjadi seksi perlengkapan atau kasarnya disebut sebagai tukang suruh, selalu seperti itu.
"Gak usah alay," cibir Genta yang kemudian ikut duduk di sebelah Jeje.
"Tapi seriusan, Ta, lo ganteng banget. Gue yang cowok aja sampe terpanah." Juju hiperbola. "Lo lagi menjalankan misi menjerat cewek-cewek dari sekolah lain juga, ya?" tuduhnya yang jelas salah.
"Lo orgil."
Saat para laki-laki itu sibuk berbicara antara satu sama lain, datanglah dua orang remaja berbeda jenis kelamin dengan id card menggantung di leher, mereka si ketua OSIS dan wakilnya. Di tangan kedua orang itu terdapat setumpuk lanyard yang sepertinya akan diberikan pada anggota Batavia.
"Jeje," panggil si perempuan yang merupakan ketua OSIS. "Nih, buat anak-anak Batavia." Dia menyerahkan kalung-kalung yang dibawa pada ketua organisasi Batavia.
"Thanks."
"Acaranya kan berlangsung tiga hari lagi. Gue minta tolong ke lo untuk urusin dan bagi jobdesk masing-masing ke anak Batavia. Sebagian jadi perkap, sebagian lagi jadi seksi keamanan yang jaga gerbang depan, gerbang belakang, gerbang dalam, dan area utama. Untuk parkiran gak usah, soalnya udah ada mas-mas OB yang mau direpotin kerja ekstra. Khusus lo, gue minta jadi bagian perkap yah. Yang lain terserah deh yang penting terkoordinasi," lanjut ketua OSIS.
"Siap! Gampang diatur itu. Anak-anak gue orangnya baik-baik plus ganteng lagi. Gak akan mengecewakan." Jeje membangga-banggakan kawannya.
"Iye dah ganteng." Gadis berkemeja hitam itu hanya mengiyakan malas. "Tapi gue ke sini nggak cuma mau ngomongin ini aja. Kita kan udah dapet MC buat acara lusa, satunya Thera dan satunya lagi anak public speaking—cowok. Tapi yang cowok nih baru aja ngabarin kalau dia masuk rumah sakit gara-gara tipes, alhasil gak bisa jadi MC buat konser." Dia menceritakan mula-mulanya. "Gue gak tau siapa lagi yang bisa dijadiin MC karena anak public speaking full booked buat lomba pekan depan, mereka gak bisa jadi MC. Gue udah tawarin ke anggota OSIS dan gak ada yang mau karena nggak percaya diri. Sekarang gue mau tawarin ke anak Batavia, kali aja ada yang minat." Setelah berpanjang lebar menjelaskan barulah ia menjelaskan maksud kedatangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Novela JuvenilCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.