"Pak, tolong lah jangan saya, ganti yang lain, ya? Saya janji akan carikan orang yang mau menggantikan saya." Di ruang guru yang saat ini hanya terisi beberapa orang saja, Thera memohon pada pak Hadi selaku guru ujian praktek agar posisinya sebagai "pengantin wanita" digantikan oleh orang lain.
"Mau digantikan sama siapa memangnya? Kalau ganti ceweknya aja saya nggak mau. Harus ganti sepasang."
Mata Thera membulat lebar karena senang. Kemudian ia menggeret Melody di sebelahnya yang sejak tadi tak berbuat apa-apa, murni menonton dari balik kacamata hitam miliknya. "Yaudah diganti sama Melody dan Jeje, Pak," katanya yang tentu saja dihadiahi oleh Melody sebuah pukulan.
"Enak aja lo!" Kamelia Melody memprotes. "Gue di sini udah mau bantu lo, malah lo jadiin gue kambing hitam." Matanya mendelik.
"Bantuin apanya? Lo lihat doang dari tadi." Dua gadis itu malah bertengkar.
"Ya kan gue bilang mau bantu temenin doang, bukan bantu bujuk pak Hadi." Si gadis berkacamata hitam mengelak.
Thera berkacak pinggang karena jawaban sahabatnya yang amat menyebalkan. "Melody, kalau lo gantiin posisi gue, lo bakalan dapat poin plus sekaligus bisa nikah sama Jeje, Mel!"
"Tolol!" Melody menyentil dahi Thera keras-keras. Demi kerang di lautan, Melody jarang sekali mengumpat, berkata kasar, apalagi sampai bermain tangan, tetapi jika sudah bersama Thera, jangan harap sikap yang kalem itu tetap menempel pada dirinya.
"Heh! Kok kalian malah bertengkar?!" Pak Hadi memisahkan dua muridnya yang bersiap menjambak antara satu sama lain. Menjadi kawan dekat bukan berarti terhindar dari pertengkaran jambak-menjambak.
"Melody duluan, Pak." Thera menunjuk pada Melody di sebelahnya.
"Dih? Ya lo duluan." Yang ditunjuk tak mau disalahkan.
"Udah jangan bertengkar!" Pria itu menengahi. "Thera, kamu aja lah yang jadi mempelai wanitanya. Tenang aja, ini bukan nikah ijab kabul apalagi pemberkatan, ini cuma simulasi acara adatnya aja, kayak temu manten, siraman, midodareni, dan yang lainnya." Pak Hadi masih berusaha meyakinkan si murid. Ia memberi beberapa waktu untuk Thera berpikir selagi berbicara pada Melody.
"Hey, Mel, lepas kacamatanya. Masa ke sekolah pake kacamata kayak gitu? Mau jadi tukang pijit tuna netra?" Ternyata si guru itu malah salah fokus dengan kacamata hitam yang bertengger indah di pucuk hidung.
"Pak, ini nggak bisa dilepas."
Alis pak Hadi menyatu. "Kenapa? Udah nempel sama matamu, kah?" candanya. "Kamu kalau ketahuan pak Totok pakai kacamata kayak gitu di sekolah, bakalan dihukum suruh bersihin kolam renang loh." Ia memberi peringatan.
Melody mengembuskan napas lelah. Kemudian ia menurunkan benda hitam itu sedikit, memperlihatkan bila anggota tubuh itu sedang sakit, memerah dan berair. "Saya lagi sakit mata, Pak. Sakit sejak kemarin dan sekarang udah lumayan sembuh. Tapi malu kalau jalan kelihatan matanya merah kayak habis nangis, makanya saya pakai kacamata."
"Udah dibeliin Jeje obat?"
"Kok malah Jeje sih, Pak?" Kenapa harus Jeje? Seakan laki-laki itu orang tuanya saja.
"Ya kan dia pacarmu."
"Bukan!"
"Belum ...." Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu ruang guru, memperlihatkan Jeje yang datang bersama Genta. Mereka membawa setumpuk buku paket yang sepertinya hendak diserahkan pada guru mata pelajaran tersebut.
"Wih, pas banget ada Genta sama Jeje, nih." Pak Hadi kemudian memerintahkan dua murid kesayangannya itu untuk masuk dan mendekat. "Kalian berdua sini deh!" perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
JugendliteraturCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.