25. Tertangkap

169 21 2
                                    

"Melody ...." Entah sudah keberapa kali Jenardian memanggil namanya. Rasa-rasanya telinga Melody sangat muak mendengar nama sendiri.

Laki-laki bertubuh tinggi ini tak henti-henti membujuk sejak Melody mengekspresikan kemarahannya di lorong sekolah siang tadi. Kini jam pulang sekolah, tetapi Jeje masih setia mengikuti bak setan yang hendak merasuki manusia. Dia berulang kali mengucap maaf yang Melody sendiri agak enggan mendengarnya.

"Maaf ya, Mel. Gue cuma bercanda doang tadi, nggak serius mau samperin ke ruang guru buat minta nomor ayah lo kok." Jeje berjalan menyamakan langkah kaki Melody. Senyuman yang terbingkai di bibir sama lebar seperti tiap-tiap jangka langkah kakinya.

"Melody ...."

"Diem dong, Je! Lo gak malu dilihatin orang-orang?!" Melody mencoba menyadarkan Jeje akan keadaan sekitar. Beberapa pasang mata menatap mereka seakan kamera paparazi yang tak mau terlewat sedetik pun informasi. Meski jam pulang sekolah telah berbunyi lebih dari tiga jam yang lalu, entah mengapa para murid ini tak kunjung pulang.

Barulah setelah itu Jeje memperhatikan sekitar. Beberapa orang yang cukup ia kenal, dengan kompak mengejeknya. "Semangat capernya, Je. Kayaknya sebelum lo keseret motor sepuluh meter, Melody gak bakalan gubris lo." Kira-kira begitulah ejekan dari salah satu kenalan Jeje.

"Lo doain gue begitu ya, sialan?" Pada akhirnya mereka tertawa-tawa bersama. Melody benar-benar tak mengerti dengan isi pikiran para lelaki tersebut.

Dia kembali melangkahkan kaki hendak meninggalkan Jenardian. Akan tetapi, seperti kutub magnet, Jeje tetap saja menempel pada Melody.

"Pulang bareng gue yuk, Mel. Lo belum dijemput bokap, 'kan? Mumpung udah selesai cheers."

"Gak mau."

"Yaudah, maafin gue, ya?"

Putaran bola mata 360 derajat gadis itu berikan. Ia mengembuskan napas sejenak sebelum berperang menghadapi Jenardian yang keras kepala dan berisik ini. "Iya, gue maafin, tapi jangan berisik, bisa?"

"Siap!" Tangan Jeje diletakkan di dahi sambil bersikap tegak selayaknya tentara, dia hormat pada Melody.

Namun, bukan Jeje jika tak keras kepala, laki-laki itu tetap saja mengeyel dengan berkata, "kalau gak mau gue anterin pulang, gue tungguin sampai dijemput ayah lo, ya? Bahaya tau kalau sore-sore gini sendirian. Biasanya si begal keliaran jam segini."

Sontak Melody melirik tak santai pada Jeje. "Yang bener? Lo ngada-ngada, 'kan?" Gadis itu malah tak percaya.

"Ya elah, Mel. Kalau gue bohong, buat apa anggota Batavia patroli tiap sepulang sekolah selama dua bulanan ini? Ngitung krikil?" Dia berkata satire. "Lo gak tahu ya kalau Shella pernah hampir jadi korban juga? Padahal waktu itu ada Juan sama Riki di sana," jelasnya. "Ada orang aja tuh begal berani beraksi, apalagi kalau lo sendirian."

"Eh iya?"

"Iya!" seru Jeje. "Tuh 'kan lo nggak tau! Bahkan ayahnya Shella sempet dateng ke sekolah cuma karena mau ngurusin ini." Dia melanjutkan.

"Terus gimana?"

"Mau dilaporin ke polisi, tapi sama pak kepsek diyakinin kalau anggota Batavia pasti bisa tangkap pelakunya. Baru setelah itu diproses secara hukum." Mereka berdua malah asik bercerita, melupakan pertengkaran yang baru saja terjadi. "Kalau dipikir-pikir kocak juga sih. Dikira kita nih satpol PP kali, ya, bisa nangkep pembegal?" Laki-laki itu terkekeh.

"Lagian kenapa nggak dilaporin ke polisi, sih?" Gadis tersebut mempertanyakan tindak tanduk kepala sekolah.

"Kalau kasus ecek-ecek begini pasti lama penangannya, Mel. Makanya kita ngide tangkap sendiri, terus baru dibawa ke meja hijau." Melody tampak diam sejenak menyetujui pemikiran Jenardian.

Hundred MilesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang