Malam ini Jenardian mendatangi rumah Kamelia Melody dengan senyuman lebar. Ia sengaja mengosongkan jadwal guna memenuhi undangan ayah yang mengajaknya makan malam di rumah mereka.
Kata Melody, hari ini ulang tahun sang ibu. Mereka memiliki kegiatan rutin tiap tahun untuk merayakan hari spesial tersebut, yakni makan malam bersama sambil mendoakan bunda yang telah berada di surga sana. Ayah akan menceritakan kisah masa muda mereka dan Melody mendengarkan dengan senang hati. Meski kisah itu selalu sama sejak 18 tahun lalu, dia tetap suka mendengarkannya.
Ayah mengundang Jeje untuk hadir. Ini kali pertama mereka mengajak orang lain untuk ikut merayakan ulang tahun bunda. Selama ini hanya ada Melody dan Ayah, tetapi sekarang ada Jeje. Terlihat sekali jika ayah sangat menyukai Jenardian hingga mengundangnya di acara spesial seperti ini.
"Ayo masuk," ajak Melody yang memakai gaun sederhana bermotif bunga. Gadis itu tampak manis dengan rambutnya yang dibuat menggelombang. Ia juga memakai riasan sederhana, seperti perona pipi dan warna lipstick yang natural. Ada pula anting perak yang menggantung indah di daun telinga. Sangat cantik, Jenardian terpesona.
"Cantik banget," puji Jeje.
Melody langsung menoleh ke belakang, menatap pada laki-laki itu sambil tersenyum malu. "Apa sih?!" elaknya. Padahal pipi itu makin memerah karena semua darah berhimpun di sana.
"Iya. Melo pasti mirip sama bunda, ya?"
"Iya, Je, mirip banget." Bukan, bukan Melody yang menjawab, melainkan ayah yang ikut bergabung dalam percakapan. Pria itu terlihat tampan mengenakan kemeja putih polos dengan celemek di atasnya, ia baru selesai memasak makanan.
"Ayah, ih!"
Ayah tertawa pelan. "Ayo kalian masuk! Lagi dingin nih di luar," ajaknya pada dua remaja tersebut. Mereka pun mengikuti dengan senang hati.
Kini ketiganya berada di meja yang dipenuhi berbagai macam makanan, mulai dari ayam bakar hingga tumis kangkung. Terdengar musik terputar dari gramofon, lagu Yesterday yang dinyanyikan oleh grup legendaris The Beatles. Ayah berkata bila ia sengaja memutar lagu itu untuk mengenang sang istri, sekaligus berterima kasih pada Jeje karena telah memberikannya kado piringan hitam pada hari ulang tahun beberapa bulan lalu.
"Dulu Ayah suka banget nyanyi lagu ini sama bunda, tapi semenjak bunda meninggal, rasanya lagu itu makin bermakna," tutur ayah mengenang masa muda. "Makasih ya udah kasih Ayah kado ini, Je." Entah sejak kapan ayah Melody menganggap Jeje seperti anak sendiri.
Jeje tertawa. "Sama-sama, Ayah, tapi kalau diinget lagi apa alasan aku kasih kado, ini tuh karena aku mau ngajakin Melody ke kondangan." Kisah beberapa bulan lalu, pasti akan menjadi sangat ikonik hingga beberapa tahun ke depan.
"Emang kenapa sih kok ngajakin aku ke kondangan? Kan temen sekelas kamu banyak, bahkan Gitaya aja menawarkan diri." Melody mempertanyakan alasan mengapa Jeje mengajaknya ke acara resepsi pernikahan Harsa dan Kayena, padahal teman laki-laki itu sangat banyak.
Jeje tampak berpikir. Ia jadi mempertanyakan diri sendiri. Dari sekian banyaknya orang yang bisa dia ajak, mengapa harus Melody? Padahal dia bisa saja mengajak saudara sepupunya, seperti Haikal yang mengajak Maudy waktu itu. Mungkinkah memang sudah ditulis oleh Tuhan seperti itu?
"Waktu itu aku denger dari Yola kalau Bagas dateng ke kondangan sama Helena. Tiba-tiba keinget adegan kamu sama si Helena bertengkar di lapangan sewaktu jadwal ekstrakurikuler, refleks aja nge-ide ajak Melo ke kondangan." Jeje tertawa sesuai mengingat kembali alasannya mengajak Melody ke acara resepsi pernikahan sang senior.
"Emang bertengkar karena apa, Je?" tanya ayah penasaran.
"Rebutan lapangan buat ekstrakurikuler, Yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Fiksi RemajaCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.