8. Peran Figuran

190 27 0
                                    

Gitaya tahu bila dirinya hanyalah upik abu di antara batu berlian yang berusaha mendekati Jenardian. Dari sisi manapun dia kalah, sudah tidak cantik, tak berbakat, apalagi terkenal seperti Kamelia Melody.

Entah sudah berapa kali lagu Celestial terputar di radio sekolah. Lagu tersebut tentu ditujukan untuk si ketua Batavia dan ketua cheerleaders yang saat ini sedang dijodoh-jodohkan oleh satu sekolah. Laki-laki tegas, tampan, memiliki kemampuan leadership yang tinggi, dipasangkan dengan seorang gadis cantik, berbakat, dan terkenal. Perpaduan yang sangat pas, bukan?

Terkadang dia berharap bisa menggapai posisi Melody untuk sehari saja, tetapi rasa-rasanya tak mungkin. Dia berharap bisa dijodoh-jodohkan oleh seluruh warga sekolah dengan Jenardian Wahyu Djatmiko. Pasti pipi Gita akan keram karena tersenyum sepanjang waktu. Kerutan halus  di kulit pun pasti datang lebih awal akibat kebanyakan tersenyum sebab salah tingkah.

Jangan berharap berada di posisi Melody karena gadis itu hidup di dalam novel. Dibandingkan dengan Gitaya, dia hanya murid biasa yang tak memiliki banyak teman, tidak ikut organisasi ataupun ekstrakurikuler, kepintaran yang standar, dan namanya sering dilupakan oleh guru. Bila ada adik kelas yang memanggil Gita, dia sangat senang karena setidaknya ada yang mengenal dia—namun, sampai dipenghujung kelas 12, tak ada seorang pun yang mau repot menyapanya di lorong. Itu karena tidak ada yang kenal dengannya!

Gita jadi ingat saat ia menawarkan diri pada Jeje untuk menjadi teman di acara pernikahan senior Batavia, tapi nyatanya pesannya tak dibaca meski berhari-hari telah berlalu. Jika saja Ayudya tak memberitahukan bila Jeje berangkat bersama Melody malam itu, pastilah otaknya terus mengira-ngira sepanjang malam siapakah gadis beruntung yang dibawa oleh Jenardian.

Saat tahu bila Jeje pergi bersama Melody, air matanya menetes. Akan tetapi, sedetik kemudian Gitaya menyadari bila dia bukanlah apa-apa jika dibandingkan Kamelia Melody. Iya, Gita mengaku bila ia suka dengan Jeje sejak mereka kelas 10, tapi dia tidak bisa mengaku langsung, mereka saja hidup di dunia yang sangat berbeda.

Jenardian adalah anak terakhir dari keluarga yang berprofesi di bidang militer, mulai dari kakek buyut hingga mendiang kakak kandungnya sendiri. Keluarganya berpendidikan tinggi, cerdas, dan serba berkecukupan. Dia sangat pandai dalam segala hal, mulai dari ketahanan fisik hingga pelajaran. Belum lagi ia yang mudah bersosialisasi serta memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Gitaya. Ayahnya hanya seorang guru honorer yang gajinya bahkan tak mencapai UMR, sedangkan ibunya membuka warung nasi untuk menyambung kekurangan hidup mereka. Perbedaan 180 derajat, Gitaya tak akan pernah mencapai kehidupan Jenardian.

"Je, nyontek dong ...." Arif Setyo Nadiman atau Arsena mendatangi bangku Jeje yang jaraknya hanya beberapa meja saja. Seperti apa yang Gitaya katakan, Jeje sangat ahli dalam berbagai pelajaran apalagi jika tentang sejarah kemerdekaan. 

"Gue gak tau, Sen," jawab Jeje sambil menunjukkan bukunya yang kosong melompong. Jenardian berbohong, tugas sejarah itu telah dia kumpulkan sejak tadi, sebelum Arsena mendatanginya.

"Alah bohong. Lo pikir gue tetep percaya sama lo meskipun dikibulin ratusan kali?" Bukannya Jeje tak setia kawan karena tak mau memberi contekan. Setahu Gitaya, ibu Arsena pernah marah kepada Jeje—bukan marah yang serius—karena ia sering memberi contekan pada sang anak sehingga membuat Arsena kurang berusaha. Jadi, wanita itu mewanti-wanti Jeje agar tak lagi menyonteki anaknya. Padahal Arsena sendiri tidak sebodoh itu hingga tak tahu apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di buku paket, dia hanya enggan berpikir keras.

"Kerjain sendiri, Sen." Suara berat Genta membuat bibir Arsena mencebik selayaknya bebek.

Jenardian memang pintar, tetapi bukan yang sangat-sangat pintar sampai dia menang banyak olimpiade. Ayah Gitaya pernah berkata, bila orang seperti Jeje menggunakan otaknya sebagai alat pemecah masalah serta ladang kreativitas. Kecerdasan Jeje bukan berasal dari dia rajin belajar, tetapi karena ia pandai menalar.

Hundred MilesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang