Gadis terkenal akan mendapat laki-laki terkenal juga. Ungkapan itu tak salah lagi, Gitaya mempercayainya sekarang. Ia sadar diri, sosoknya yang tak sebanding dengan Kamelia Melody, jangan harap bisa mendapatkan hati seorang Jenardian.
Cantik, terkenal, baik, dan berbakat, kurang apa lagi Melody? Wajar jika Jenardian menyukainya. Malah aneh bila laki-laki itu menyukai Gitaya yang kosong melompong seperti lubang donat. Sudah tidak terkenal, minim bakat lagi. Jangankan disukai, dilirik saja sudah sangat beruntung.
Gitaya tahu segala hal yang terjadi antara Jeje dan Melody. Mendadak ia memiliki kemampuan mendengar dan melihat lebih kuat saat orang-orang mulai membicarakan tentang mereka, tak ada satupun fakta ataupun gosip yang terlewat olehnya.
Dua hari lalu Gitaya melihat dengan mata kepala sendiri, saat Jeje menangis di dalam kelas dan Melody menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan laki-laki tersebut. Dia tidak tahu apa yang terjadi kala itu, Gitaya hanya ingat bila ia sedikit sedih melihat kedekatan mereka.
Pada waktu pulang sekolah dua hari lalu, ia melupakan bukunya di kolong meja kelas, alhasil Gitaya harus mengambilnya karena hendak digunakan untuk belajar. Namun, pada saat hendak membuka pintu kelas, terdengar suara orang bercakap-cakap dari sana.
Terlampau ingin tahu, Gita mengintip dari jendela, dilihatnya Melody dan Jeje berduaan di dalam kelas. Gadis cantik ketua cheerleader itu terlihat menyerahkan sesuatu pada Jenardian sambil mengatakan beberapa patah kata. Lalu Jeje terlihat membuka benda tersebut dan mengambil sebuah kertas di dalam sana. Beberapa menit kemudian laki-laki itu terlihat meneteskan air mata, yang mana membuat hati Gita agak terenyuh. Melihat sosok sehebat Jeje menangis seperti melihat gerhana matahari yang terjadi tiap ratusan tahun, jarang terjadi. Akan tetapi, Melody seperti seorang fotografer yang berhasil mengabadikan keajaiban tersebut.
Dari tempatnya berdiri, Gita sadar dimana posisinya berada. Pemeran figuran yang tak penting, pelengkap cerita indah mereka. Tak usah berharap lebih akan mendapatkan hati si ketua Batavia jika kehadirannya saja berada di balik jendela seperti sekarang.
Hari ini Jeje mengungkapkan bila ia dan Melody terlihat sangat cocok bila disandingkan bersama. Di halaman sekolah penuh murid dan juga microphone menyala, tak ayal kata-katanya bak jendral perang yang berorasi.
"Lo oke?" tanya Ayudya kala mereka hendak kembali ke kelas pasca senam bersama.
"Ya menurut pribadi masing-masing aja," jawab Gitaya masih mengusahakan lelucon. "Tapi gue sadar diri, sih. Status gue 'kan cuma temen sekelas yang tersisihkan, bahkan Jeje lebih deket sama lo daripada gue." Dia tersenyum kecut.
Ayudya terlihat menyilangkan tangan di atas dada. "Duh miris banget ..." komentarnya. "Tapi gue masih heran sama Jeje, udah gue kodein berkali-kali, tetep aja dia gak sadar. Emang se-enggak peka itu ya dia?" Ia sok berpikir padahal sudah tahu jawabannya.
"Bukannya nggak peka, dia emang gak suka gue aja." Gitaya enggan menghibur diri.
"Menurut gue, Jeje murni nggak peka, sih. Emang dia anaknya humoris, temenan sama semua orang, sampai stranger aja diajak ngobrol, tapi untuk masalah beginian, dia murni gak jago. Seratus persen mirip sama Genta."
"Kebanyakan bergaul." Keduanya pun menertawakan kisah cinta SMA mereka yang miris.
Selesai dengan menertawai diri sendiri, Gita pun terpikirkan akan sesuatu. "Menurut lo, Jeje sama Melody bakal jadian gak?"
...
"GUE GAK MAU SEKOLAH!" Gadis bermata bulat itu menenggelamkan wajahnya pada tumpukan bantal di kamar Melody.
"Mampus! Akhirnya lo ngerasain apa yang gue rasain, 'kan?" Melody yang saat itu tengah mengerjakan tugas di meja belajar pun mengatai sang kawan sebangku yang terlihat sangat putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hundred Miles
Teen FictionCinta, persahabatan, kebencian, dan kematian menempuhkan manusia dalam satu sentimeter, dua inci, tiga meter, empat kilometer, hingga seratus mil dalam tiap langkah kecilnya.