Setelah Hasna meminta untuk pulang kerumah Ummi Fatimah, Saat itu juga Afif datang menjemput nya sesuai permintaan Hasna ditelfon. Hasban sudah beberapa kali membujuk Hasna agar tetap berada dirumahnya, namun gadis itu tetap keukeh untuk pergi kerumah Ummi Fatimah.
Beberapa kali juga Afid memberi pengertian pada Hasban agar adik nya itu menenangkan diri terlebih dahulu dirumah Ummi Fatimah. Walaupun Afif tidak terlalu mengerti dengan masalah mereka yang jelas saat ini Hasna butuh waktu untuk menenangkan diri.
Kali ini, Hasna hanya berdiam didalam kamar nya sembari memeluk guling yang sudah beberapa bulan ini tidak lagi ia gunakan. Gadis itu seolah lupa dengan perutnya yang sedari tadi belum diisi oleh apapun.
Ummi Fatimah sudah berkali-kali membujuk anak gadis nya agar memakan barang sedikit makanan agar Hasna tidak sakit tapi Hasna hanya menggeleng dan beralasan jika ia tidak lapar.
"Nak, namanya rumah tangga itu tidak selamanya berjalan mulus. Pasti ada masalah yang datang. Bukan berarti Hasna seperti ini, Hasna udah besar kan? Harus belajar mengendalikan emosi. kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik sama suami kamu, jangan seperti ini, Nak." Ucap Ummi Fatimah seraya mengusap kepala Hasna dengan Sayang.
"Tapi Ummi, Hasna ngga bisa." Ucap Hasna.
"Hiks...gurunya Mas Hasban datang kerumah, terus bilang kalau Mas Hasban mau atau engga menikah sama anak nya. Mas Hasban kan suaminya Hasna, Ummi." Ucap gadis itu kembali mengeluarkan air matanya.
"Udah dengar jawaban Hasban? Sudah dibicarakan belum sama Nak Hasban?" Ucap Ummi Fatimah.
"Ummi tau betul gimana suami kamu itu,"
"Sudah, Mas Hasban ngga nerima permintaan gurunya." Lirih Hasna.
"Nah itu."
"Hasna mau disini dulu Ummi, Hasna ngga mau ketemu sama dia." Ucap Hasna memelas.
Ummi Fatimah hanya mengangguk saja, menyetujui permintaan putrinya yang memang sepertinya butuh waktu untuk menenangkan diri.
"Jangan lama-lama lho tapi, masalah kalian harus cepat-cepat diselesaikan, masa mau seperti ini terus."
Sedangkan disisi lain, Hasban tampak lesu terduduk dimeja makan sendirian. Biasanya setiap makan malam akan ada candaan dari istrinya, tapi saat ini Hasna tidak berada bersamanya. Rasa hampa kian terasa didiri Hasban.
Lelaki itu seolah tidak nafsu makan, perutnya yang tadinya terasa lapar kini entah kenapa tidak lagi meminta untuk diisi sesuatu yang mengenyangkan. Lelaki itu kepikiran dengan Hasna, apa lagi mengingat permintaan Hasna yang meminta untuk diceraikan. Ia benar-benar takut kehilangan Hasna, ia takut jika suatu hari nanti Hasna mengirim surai perceraian padanya, dan Hasban tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Lelaki itu kembali menyentuh pangkal hidung nya, merasa pening dengan permasalahan saat ini, ia teringat perkataan Abi nya tempo lalu.
"Kenapa kesini? Biasane jarang ndene mbasan wes rabi." Kekeh Abi Ali.
"Ada yang mau Hasban omongin, Bi." Jawab Hasban dengan serius.
Abi Ali menepuk sisi sebelahnya, mengkode putranya agar duduk lebih mendekat kearahnya yang langsung dituruti oleh Hasban. "Mau bicara apa Le?" Tanya Abi Ali seraya membenarkan pecinya.
"Abi, Hasban tadi bertemu dengan kyai Amir." Ucap Hasban.
"Bagus Le, tetap jaga silaturahmi sama beliau." Ucap Abi Ali.
Hasban mengembuskan nafasnya panjang, menyenderkan punggungnya pada pilar yang berada dibelakang nya.
"Beliau bilang...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Guruku Imamku
Ficção GeralBagaimana rasanya saat engkau menyimpan rasa tidak suka pada seseorang karena sikap nya, tapi malah disatukan dengan orang itu dalam ikatan yang sah. Itu yang Hasna rasakan, ia harus menerima kenyataan kalau dirinya sudah menjadi pendamping hidup le...