I'M HERE [26]

535 87 16
                                    







Jujur, saat ini Zee bingung harus melakukan apa. Ia sangat khawatir dengan kondisi kekasihnya.

Saat ayah Ashel selesai berbicara dan masuk kedalam rumah, Zee pun ikut masuk dan pergi ke kamar Ashel. Tapi, baru saja Zee hendak berbicara dan menenangkan Ashel, Fabian langsung muncul dan mengusir Zee.

Mendengar ancaman ayah Ashel yang mengatakan jika Zee tak boleh ke rumah Ashel jika ia tidak memberitahu Fabian siapa pelaku yang telah membuat Ashel seperti itu, Zee pun akan segera mencari tahu siapa pelaku tersebut. Karena memang sejujurnya Zee tidak tahu kan, bukan menyembunyikan seperti dugaan Fabian.

Tak mungkin Zee bisa tidak bertemu dengan Ashel dalam jangka waktu yang lama. Jadi, ia juga harus bergerak untuk cepat mencarinya.

Tapi meski begitu, bukan kah posisinya juga akan terancam?

Posisinya sebagai kekasih Ashel akan terancam jika nanti Ashel dan keluarga meminta pertanggung jawaban pada lelaki tersebut.






•••




Semua ketakutan Ashel terjadi, kedua orang tua nya kecewa pada Ashel. Baru tadi Ashel melihat sorot wajah sang ayah yang sangat marah. Baru tadi juga Ashel melihat raut wajah Friessela yang nampak kecewa.

Tadi, Friessela sempat masuk kedalam kamarnya. Tapi Friessela hanya menyimpan kertas hasil laboratorium tanpa bertanya atau menyapa Ashel. Padahal Ashel sedang menangis disana.

Ella dan Shani terus berusaha membujuk Ashel untuk makan dan berhenti menangis, namun segala cara telah mereka coba ternyata tidak berhasil. Ashel masih terus menangis dibalik selimutnya.

"Dekk ayo buka dulu, makan yuu. Kalau kamu terus kaya gini nanti pusing kepalanya." bujuk Shani sambil mencoba menarik selimut yang menutupi tubuh Ashel.

"Ayo dong kakak Acell." Ella ikut membujuk Ashel. "Kalau kak Acel kaya gini aku sedih tau."

"Aku mau di suapin mommy." jawaban dari Ashel membuat Shani dan Ella kini saling tatap satu sama lain.

"Iya di buka dulu selimutnya, engap kamu kalau gitu terus." kata Shani lagi. Kali ini Shani berhasil membuka selimut yang menutupi tubuh Ashel.

Dilihatnya wajah Ashel dengan keadaan mata sembap dan mata memerah, membuat Shani merasa iba dengan kondisi adiknya saat ini. "Makan disuapin kakak dulu yaa?" Ashel menggeleng. Dengan di bantu oleh sang kakak, Ashel bangun dari tidurnya dan bersandar di dada Shani.

Shani tahu jika Friessela tidak marah, hanya saja Friessela butuh waktu untuk menerima kenyataannya. Jika sudah seperti ini, Shani tidak berani untuk berbicara pada Friessela. Bukan karena takut akan Friessela tak mau, tapi takut akan Fabian yang akan marah padanya.

"Aku gamau makan, kak. Biar aku sama bayi pembawa sial ini mati." dengan suara bergetar dan memukul perutnya, Ashel berbicara demikian. "Aku harus mati, bayi ini juga harus mati!" Ashel berteriak sambil menunjuk perutnya.

Shani menggeleng, tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Ia tak kuasa menahan air matanya melihat sang adik yang selalu ceria, kini terlihat hancur.

Didekapnya sang adik dibarengi dengan kecupan dikepala Ashel, kembali terdengar perkataan yang menyayat hatinya. "Aku harusnya mati kan kak? aku harus mati biar ga malu - maluin keluarga."

Di dalam fikiran Ashel saat ini hanya mati, mati, dan mati. Jika dirinya mati, semua permasalahannya akan selesai fikir nya.

"Ngga dek, ngga boleh." ucap Shani mengusap surai lembut sang adik.

Melihat sang kakak yang tampak hancur, Ella tak tinggal diam. Ia pergi dari kamar Ashel, dan menghampiri kamar kedua orang tuanya.

Tok!

i'm hereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang