LANTANA (24)

19.2K 1.3K 11
                                    

Lantana memasukkan kakinya ke dalam aliran air yang mengalir di sungai kecil di ujung desa. Ia duduk di bebatuan sambil mengayun-ayun kan kakinya.


Ia mengelus perutnya yang masih rata sambil memandang langit jingga jauh di depan. Ia selalu menyukai suasana alam seperti ini.

Pikirannya kalut, ia bahkan tak mengetahui siapa ayah bayi yang ada dalam perutnya. Dan apa yang akan dilakukan orang sekitarnya jika mengetahui bahwa ia hamil tanpa suami. Tak terasa air mata jatuh membasahi wajahnya yang terlihat pucat.

"Kenapa nasib malang selalu mengikuti ku" batin Lantana.

Langit beranjak menggelap, ia segera bangkit lalu berjalan menuju sepedanya. Entah sudah berapa lama ia termenung di tempat ini. Dua hari ini ia memutuskan tidak bekerja dan memilih menyendiri di tempat ini.

Terdengar suara ribut, Lantana mempercepat untuk mengayuh sepedanya. Dari kejauhan terlihat banyak warga di depan rumah Lantana. Pak Lurah, Dodi, Diana, Mira bahkan Ibu Mira terlihat saling adu mulut.

Lantana tetap mengayuh sepedanya menuju rumah yang sudah dibanjiri warga. Ia sudah menduga ini akan terjadi.

"Itu Tana!" Teriak seorang warga yang mengetahui kedatangan Lantana.

"Tana!" Mira berjalan dengan cepat menuju arah Lantana. Lantana menghentikan sepedanya dan menuntun sepedanya menuju kerumunan warga.

"Dek Tana hamil?" Tanya Oak Lurah tiba-tiba.

"Nggak mungkin kan, Nak? Mereka itu fitnah!" Ucap Ibu Mira membela.

"Itu benar! Tana hamil! Dokter sendiri yang mengatakan saat di klinik!" Sahut Diana.

"Tana, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Mira yang sedang menggandeng tangan Lantana.

Lantana tak kuasa menyembunyikan air matanya lagi. Ia terdiam sambil menangis. Bagaimanapun ia memang sedang hamil, berbohong pun tak akan menyelesaikan masalah.

"Benar kamu hamil!" Kata Ibu Mira menghampiri Lantana.

Lantana tak kuasa menjawab, ia hanya mengangguk sambil menangis. Mira dan Ibunya terdiam seperti tak percaya, sementara warga yang lain terlihat berbisik dan mencemooh.

"Kamu hamil anak siapa! Jangan jadi aib di desa ini!" Kata Pak Lurah yang mulai emosi.

"Ayah usir saja dia! Dia sudah membuat desa kita malu!" Ucap Diana yang membuat susana semakin panas, warga desa pun banyak yang mendukung ucapan Diana.

"Katakan siapa ayah dari bayi itu!" Pak Lurah tampak marah.

"Siapa yang sudah menghamili mu, Tana?" Tanya Ibu Mira sambil menangis.

Melihat Mira dan Ibu Mira menangis, air mata Lantana juga mengalir semakin deras. Sementara terdengar riuh warga yang menyuruh Lantana untuk mengakui siapa sebenarnya lelaki yang sudah menghamilinya.

"Katakan Tana, siapa Ayahnya? Aku akan membawanya kesini" kata Dodi menghampiri Lantana.

Mungkin lelaki itu sudah beristri, dan Lantana hanya wanita simpanan.

Mungkin lelaki itu tak mau mengakui kalau itu anaknya.

Mungkin dia berhubungan lebih dari satu lelaki, sehingga dia tak tahu ayahnya yang mana.

Begitulah spekulasi para warga yang saat ini sedang mencemooh Lantana.

Lantana hanya menggeleng sambil menangis. Memang benar ia tak tahu siapa Ayah bayi dalam perutnya.

"Kalau kamu tidak mau mengatakannya, sebaiknya kamu pergi dari desa ini! Aku tak mengijinkan kamu tinggal di desa ini lagi!" Bentak Pak Lurah.

"Tolong jangan usir Tana dari sini, Pak Lurah" pinta Ibu Mira sambil menangis.

"Katakan siapa yang menghamilinya!" Bentak Pak Lurah yang di setujui para warga.

"Aku yang telah menghamilinya!" Sahut suara lelaki.

Semua warga melihat sosok lelaki yang berjalan mendekat ke arah Lantana. Lantana memutar badannya ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara tadi. Itu adalah Bian!

Lantana terkejut dan sungguh tak percaya Bian datang menghampirinya lalu menggenggam tangannya.

"Aku akan membawanya pergi dari desa ini" kata Bian dengan tenang kepada seluruh warga yang berkerumun di tempat itu.

Bian lalu menuntun Lantana ke arah mobil. Lantana yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menurut mengikuti Bian.

"Sebenarnya siapa ayah dari anak ini?" Tanya Lantana memecah keheningan saat berada di dalam mobil milik Bian.

"Itu anakku" jawab Bima dengan santai.

"Aku ingin menggugurkannya" kata Lantana kemudian sambil memandangi pepohonan dari balik kaca mobil.

"Jangan bunuh anakku" sahut Bian.

"Kau yakin ini anakmu? Berapa orang yang meniduri aku malam itu?!" Cecar Lantana saat menoleh ke arah Bian.

Bian hanya menggeleng "Hanya aku!"

Lantana terdiam.

"Ehm pak, apa kita mampir makan dulu?" Tanya Bima berusaha mencairkan suasana.

"Ya, tentu. Bayiku pasti kelaparan" sahut Bian. Sementara Lantana terlihat seolah-olah tak peduli.

LANTANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang