Terhitung sudah 2 hari Lantana berada di Rumah Sakit, keadaannya mulai membaik dan dokter sudah mengijinkan Lantana pulang siang ini.
Pak Danu selalu rutin menyempatkan diri menjenguk Lantana. Tadi pagi, Lantana sudah berpamitan pada Pak Danu kalau siang ini ia akan pulang dan kembali ke desa.
Lantana membuka tasnya dan memeriksa ponselnya. Ponsel itu dalam keadaan mati entah sejak kapan. Mungkin baterainya habis. Apakah Aulia dan Pak Rendra mencari dan mencoba menghubunginya? Pikirnya. Ia lalu memasukkan kembali ponselnya, dan bersiap untuk meninggalkan Rumah Sakit.
Lantana berjalan menuju bagian administrasi untuk membayar tagihan Rumah Sakitnya.
"Maaf, tagihan atas nama Lantana Amira Wiguna sudah dibayar lunas. Ibu bisa langsung pulang!" ucap seorang wanita berbaju putih ketika Lantana menanyakan tagihan selama dirawat di Rumah Sakit.
"Oh ya? Di bayar oleh siapa?" Tanya Lantana penasaran.
"Disini tidak disebutkan namanya, Bu!" jawab wanita itu.
Lantana berterima kasih pada wanita itu, lalu bergegas meninggalkan Rumah sakit untuk mengunjungi makam Ayahnya. Ia berpikir pasti Pak Danu yang sudah membayar tagihannya.
Lantana berjalan menuju ATM yang berada di depan Rumah Sakit. Ia ingin mengambil uang untuk biaya perjalanannya kembali ke desa. Ia memutuskan naik bus nanti malam, meskipun butuh waktu perjalanan 12 jam, tapi bus merupakan satu-satunya alat transportasi yang menurutnya murah.
Betapa terkejutnya Lantana saat mengetahui sisa saldo di mesin ATM di depannya. Ia tak percaya dengan penglihatannya, beberapa kali mecoba cek saldo tapi jumlahnya tetap sama 5 Milyar lebih.
Lantana memutuskan mengambil uangnya sendiri yang tak seberapa. Wajahnya terlihat merah dan emosinya sangat terlihat. Lantana bergegas mengunjungi makam Ayahnya. Ia berjalan dengan tatapan kosong, dalam hatinya masih menyimpan amarah.
Lantana menaburkan bunga yang ia beli dalam perjalanannya ke makam sang Ayah. Ia juga menaburkan bunga untuk makam Ibunya yang terletak di samping makam Ayahnya. Ia tak sanggup menahan kesedihannya lagi, ia menangis dengan keras.
Entah sudah berapa lama Lantana masih bersimpuh diantara kedua makan orangtuanya. Hujan yang turun pun tidak menggerakkan badan Lantana untuk sekedar berteduh. Ia menangis semakin keras seolah sedang meluapkan segala kesedihannya.
"Apa Pak Bian ingin menemui Bu Lana?" Tanya Bima pada Bian yang saat itu berada di mobil yang terletak tak jauh dari pemakaman.
Bian memandang jauh pada Lantana yang sedang menangis di tengah hujan.
"Tidak. Bawakan payung untuknya, dan antar kan dia pulang!" jawab Bian dengan raut wajah yang datar.
"Baik!"
Bima segera membawa 2 payung ke arah Lantana, dan meninggalkan Bian sendirian di mobil.
Lantana mendongakkan kepala ke atas saat merasakan hujan tak lagi membasahi tubuhnya. Ia melihat sebuah payung lalu menoleh ke belakang dan melihat Bima sedang memayungi dirinya.
"Ada apa?" Tanya Lantana yang tak bergerak dari tempatnya dan berusaha menghentikan tangisnya.
"Saya akan mengantarkan Bu Lana pulang." kata Bima.
"Aku bisa pulang sendiri!" kata Lantana sambil berusaha berdiri.
"Apa Bian yang mentransfer uang lima milyar ke rekeningku?" Tanya Lantana tiba-tiba setelah berdiri di depan Bima.
"Eh itu-" Kata - kata Bima menggantung, ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku akan mengembalikan uangnya segera. Tolong sampaikan pada Bian agar jangan menggangguku lagi. Aku sudah cukup menderita, Bima. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengan bahagia. Aku berjanji tidak akan menampakkan wajahku di hadapannya lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi!" kata Lantana tak tak kuasa menahan air matanya.
Lantana lalu berjalan menerobos hujan, ia meninggalkan Bima sendiri.
Sementara Bian di dalam mobil sejak tadi terus memperhatikan Lantana, sampai Lantana pergi dan tidak terlihat lagi di tengah hujan.

KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANA
Ficción GeneralAda yang berkata bahwa kehidupan itu seperti roda dan kita tidak tahu kapan roda itu akan berputar. Seperti kisah Lantana, wanita cantik yang dulunya hidup bak putri kerajaan. Dan tiba - tiba hidupnya berubah seperti yang tidak Ia bayangkan sebelumn...