"Maafkan aku,"
Lantana berkata lirih. Ia tak sanggup menahan air matanya. Bian kemudian mendekap tubuh Lantana mencoba menenangkannya.
"Aku juga minta maaf, Lana. Dulu aku terlalu gegabah saat melihat foto-foto itu. Saat itu aku cemburu, dan marah karena mengira kamu telah mengkhianati ku. Maafkan aku, Lana."
Lantana tidak mengatakan apapun, ia hanya bisa menunduk dan menangis. Ia merasa lega karena satu per satu beban dipundaknya mulai terangkat. Ia tidak menyalahkan keadaan. Mungkin dengan takdir yang seperti ini, membuat Lantana menjadi yang lebih dewasa.
Bian melepas dekapannya, lalu memandang mata Lantana. Ia menghapus air mata yang sejak tadi mengalir di pipi Lantana.
"Kita mulai dari awal ya," kata Bian.
Bian lalu mencium bibir Lantana. Tak ada penolakan dari istrinya, bahkan Lantana juga membalas ciuman Bian. Bian melepas tali handuk yang Lantana kenakan, lalu mencoba membuka handuk yang menutupi tubuh Lantana. Dengan cepat Lantana menghalangi Bian yang melepas handuknya, dan mendorong tubuh Bian.
"Kumohon, Lana. Biarkan aku," kata bian dengan parau.
Lantana tak bisa lagi mengelak, hatinya sudah jatuh pada Bian sekian lama. Dan ini juga yang ia inginkan sejak dulu.
Lantana merasakan ada seseorang yang mencium bibirnya. Ia membuka mata dan menemukan Bian sedang tersenyum padanya.
"Selamat pagi, istriku." Ucap Bian lalu mencium bibir Lantana sekali lagi.
"Jam berapa ini?" Tanya Lantana sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku dan sakit.
"Jam 09.00," jawab Bian sambil mengancingkan kemeja berwarna putih yang ia pakai.
Bian terlihat sudah rapi, sedangkan Lantana masih bertelanjang di bawah selimut dengan rambut yang kusut.
"Apa kau masih ingin menginap di sini? Jika ya, setelah pulang kerja aku akan langsung menuju kemari."
"Ya, aku masih ingin tinggal di sini satu hari lagi."
"Baiklah, aku akan meminta Pak Danu mengirimkan barang-barang yang kau butuhkan."
Bian mengelus pipi Lantana, kemudian sekali lagi mencium bibir Lantana. Kini bibir itu adalah candu bagi Bian.
"Aku berangkat kerja dulu ya. Aku sudah memesan makanan dan menaruhnya di meja makan. Mandilah dan segera makan." Perintah Bian.
"Iya, Bian,"
"Jangan lupa untuk menyalakan ponselmu, agar aku bisa menghubungi mu,"
Lantana tersenyum malu, ia bahkan lupa dimana ia menaruh ponselnya.
"Jangan lagi kabur dariku, kau harus berjanji."
Lantana mengangguk malu-malu, Bian kemudian mengecup kening Lantana.
**
"Bian, sungguh kah ini?"
Lantana merasa takjub dengan apa yang ia lihat di depannya. Rumah besar yang bercat hijau pastel, dengan gazebo di halaman rumah yang langsung menghadap ke pegunungan. Serta banyak tanaman dan pepohonan yang menghiasi rumah tersebut, sehingga rumah tampak asri.
"Ya, tentu! Yang di sana juga adalah tanah milikmu, kau bisa menanami itu sesuka hatimu." Kata Bian menunjuk tanah di seberang rumah yang masih dipenuhi tumbuhan liar.
"Bian, aku hanya minta sepetak tanah, kenapa kamu memberi ku semua ini?"
"Sudahlah, Lana. Ayo kita masuk kedalam!"
Bian menggandeng lengan istrinya dan memasuki rumah tersebut. Sementara Lantana tidak henti-hentinya mengagumi rumah yang menjadi miliknya.
"Aku harus sering-sering berkunjung kesini, Bian" kata Lantana bergelayut manja di lengan Bian.
"Tidak boleh untuk saat ini, Lana,"
Bian berjongkok, lalu mencium perut Lantana yang sudah mulai membuncit.
"Aku tidak mau kamu terlalu capek, aku tidak ingin kehilangan anak kita lagi," Kata Bian sambil mengelus perut Lantana.
"Jangan khawatir, aku akan menyuruh orang lain untuk menjaga dan merawat rumah ini."
Lantana tersenyum melihat perlakuan Bian. Ia mengikuti Bian mengelus perutnya. Ia merasa sangat bersyukur dengan kehidupannya sekarang.
"Aku berjanji akan menjaga kehamilan kali ini dengan baik. Terima kasih untuk semuanya, Bian." Imbuh Lantana.
Lantana memeluk Bian dengan erat, sungguh kini ia telah bahagia bersama orang yang ia cintai. Tidak ada yang sia-sia. Baik itu cintanya, kehidupannya, mimpinya, perjuangannya. Semua telah berbuah manis.
"Aku mencintaimu, Bian."
Bian mencium bibir Lantana dengan penuh kebahagiaan.
"Aku juga sangat mencintaimu, Lana. Sangat mencintaimu!"
**TAMAT**

KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANA
Fiksi UmumAda yang berkata bahwa kehidupan itu seperti roda dan kita tidak tahu kapan roda itu akan berputar. Seperti kisah Lantana, wanita cantik yang dulunya hidup bak putri kerajaan. Dan tiba - tiba hidupnya berubah seperti yang tidak Ia bayangkan sebelumn...