Bus membawa Lantana meninggalkan kota yang sudah menyisakan kesedihan baginya. Semua terasa berat bagi Lantana. Beruntung, hari ini bus tidak padat penumpang. Hanya terlihat beberapa orang saja dalam bus itu, sehingga lebih leluasa baginya untuk menangis menumpahkan kesedihannya.
Entah sudah berapa jam ia berada dalam bus itu. Ini sudah tengah hari, dan esok pagi ia akan sampai terminal di dekat desanya. Ia sangat sulit untuk memejamkan matanya. Ia masih teringat kejadian malam itu, entah berapa orang yang sudah menyentuhnya malam itu. Ia berharap itu hanyalah mimpi buruk dan akan segera bangun.
Matahari sudah menampakkan sinar hangatnya. Lantana turun dari bus yang berada di terminal dekat desanya. Ia memutuskan berhenti di warung pinggir jalan dekat terminal untuk mengisi perutnya yang sejak kemarin sore kosong.
Setelah menghabiskan satu porsi soto ayam, ia melanjutkan dengan berjalan kaki menuju sebuah bank swasta yang berjarak 1 KM dari terminal.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita yang merupakan pegawai bank.
"Pagi, saya ingin mentransfer uang ke rekening ini!" ia menyodorkan slip setoran pada pegawai wanita di depannya.
"Uang akan di setor ke nomor rekening 4654883941 atas nama Bian Wiradana Halim sebesar 5 Milyar ya Bu?" Tanya pegawai memastikan.
Lantana mengangguk, ia masih sangat hafal nomer rekening mantan suaminya itu. Ia tak mau lagi berurusan dengan Bian. Ia akan mencoba mengikhlaskan semuanya dan bangkit untuk mencari kebahagiannya sendiri.
Setelah proses transfer selesai, ia memutuskan menutup rekening yang ia dapatkan dari PT Hansa Food untuk pembayaran gaji setiap bulannya. Ia sudah bertekad untuk tidak lagi bekerja di perusahaan itu.
Setelah itu ia menunggu angkutan umum yang akan membawanya ke desa dimana ia tinggal. Sungguh perjalanan yang melelahkan bagi Lantana.
Sudah terhitung 5 hari Lantana meninggalkan rumahnya. Terlihat banyak bunga yang mulai bermekaran. Meskipun hanya bunga murah seperti bunga kertas, melati, mawar, kenikir, tapi Lantana selalu merawatnya dengan tulus.
Ia memetik beberapa tangkai bunga lalu membawanya masuk ke rumah tua yang bertahun-tahun ia tempati. Setelah itu ia merangkai bunga dan menaruhnya ke dalam pot plastik yang terletak di meja kamarnya.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, Lantana menghidupkan ponselnya yang sudah ia isi dayanya ketika ia mandi. Ia kemudian membaca pesan dari Aulia.
"Tana, aku dan Pak Rendra pulang dulu ya. Kata Pak Bima kamu masih ada pekerjaan untuk menata ruang arsip di perusahaan pusat. Untuk tiket pesawat kepulangan mu akan di berikan setelah semua pekerjaanmu selesai!"
"Tana, belum pulang? Apa masih belum selesai pekerjaannya?"
Lantana menghembuskan napas dengan berat. Sejenak ia merenung, andai saja ia menolak undangan itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Lalu ia membaca pesan dari Mira.
"Tana, aku tadi mampir ke rumah. Kata tetangga kamu pergi tugas ke kota bersama Aulia. Pasti kamu mengunjungi makam mereka. Titip salam ku untuk Ayah dan Ibumu ya. Hubungi aku jika sudah pulang ke rumah."
Lantana menuruti pesan Mira dan segera memencet tombol untuk menelpon sahabatnya itu.
"Hai, Tana. Sudah pulang?" Sapa Mira dari ponsel Lantana.
"Iya barusan pulang." jawab Lantana.
"Kamu tidak apa-apa kan? Suaramu terlihat sedih. Apa terjadi sesuatu selama di kota?" Tanya Mira yang merasa khawatir dengan sahabatnya itu.
"Tidak terjadi apa-apa. Aku hanya masih rindu dengan Ayah dan Ibuku!" jawab Lantana mencoba berbohong. Ia tak sanggup menceritakan apa yang sudah terjadi pada sahabatnya.
"Aku tahu perasaanmu, Tana. Oh ya, aku mau menyampaikan kabar baik!"
"Apa itu?" Tanya Lantana penasaran.
"Aku hamil, Tana! Tapi sedihnya, aku tak akan bisa sering-sering mengunjungimu." jawab Mira.
"Wah selamat, Mira. Jangan pikirkan aku, pikirkan dirimu dan calon bayimu saja. Aku yang akan sering berkunjung ke sana!" Lantana sangat bahagia mengetahui sahabatnya akan segera mempunyai anak.
Seperti mimpi Lantana dulu yang juga sangat ingin mempunyai anak bersama Bian. Tapi sampai usia pernikahan berjalan satu tahun, Bian sama sekali tidak mau menyentuhnya. Bahkan ketika Lantana meminta untuk tidur bersama, ia akan mendorong Lantana keluar dari kamar dan mengunci pintu kamarnya.
"Baiklah, aku akan menunggu kedatangan mu. Ibu juga sudah sangat merindukanmu!" kata Mira yang kemudian menutup telpon.
Lantana lalu memeriksa pesan di ponselnya lagi. Terdapat satu pesan dari nomer yang tak ia beri nama, tapi ia sangat tahu siapa pemilik nomor itu. Bian!
Entah mengapa selama bertahun-tahun, ia masih mengingat semua tentang Bian. Nomor rekening, nomor ponsel, bahkan ukuran sepatu dan baju masih begitu mudah ia mengingatnya.
Ia membuka pesan yang dikirim mantan suaminya itu.
"Maaf."
Hanya itu yang Bian tulis. Lantana tidak membalasnya, ia tidak mau memikirkan apa maksud pesan Bian itu. Ia mematikan ponselnya dan mencoba untuk tidur, sejenak melupakan kesedihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANA
General FictionAda yang berkata bahwa kehidupan itu seperti roda dan kita tidak tahu kapan roda itu akan berputar. Seperti kisah Lantana, wanita cantik yang dulunya hidup bak putri kerajaan. Dan tiba - tiba hidupnya berubah seperti yang tidak Ia bayangkan sebelumn...