8. SORRY

69.3K 3.3K 82
                                    

Baru sadar, kemarin ngga up ya, seperti judul chapternya, sorry:(

Biasalah sibuqq ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ

Part ini udah aga mendingan, ada receh²nya ngga seserius part sebelumnya

***

Happy Reading^^

***

Begitu mendengar teriakan dari lantai atas, tepatnya dari kamar Anya, sontak memicu kepanikan selepas akad nikah diucapkan. Raka langsung bangkit dari duduknya, berlari menaiki dua anak tangga sekaligus.

Kepanikan tercetak jelas di garis wajahnya. Jantungnya bertalu-talu, seperti sesuatu sedang merematnya. Tangannya yang bergetar membuka knop pintu.

Mama Anya sontak menoleh. "Raka, tolong."

"Nggak usah dibawa rumah sakit. Biar Tante telpon dokter aja."

Tanpa aba-aba pun Raka berlari masuk dan menggendong Anya yang sudah tak sadarkan diri dari pelukan mamanya. Membaringkan dengan amat hati-hati di atas ranjang, seolah Anya memang barang berharga yang harus ia jaga.

Raka sigap melakukan pertolongan pertama pada pergelangan tangan Anya yang berdarah. Jantungnya berdenyut sakit menyadari luka sayatan di pergelangan tangan cewek itu.

Kemudian digenggamnya tangan dingin Anya, lalu menempelkan pada pipinya, menyalurkan kehangatan dari sana. Tangan satunya terangkat, bergerak mengelus pelan kening Anya.

Sementara itu mama Anya bergerak mencari-cari benda tajam lainnya di kamar Anya menghindari kejadian seperti ini terulang untuk kedua kalinya.

Tak lama sosok papa Anya datang bersama dengan dokter di sampingnya, sontak Raka melangkah mundur memberi ruang dokter untuk memeriksa keadaan Anya.

Raka menoleh saat papa Anya menepuk singkat pundaknya lalu keluar kamar. Raka mengernyit bingung. Merasa pria paruh baya itu perlu bicara padanya, Raka mengikuti langkahnya keluar kamar.

Keduanya berhenti di ruang tengah yang sudah agak sepi selepas acara.

"Duduk," titah papa Anya menunjuk sofa dengan dagunya, sementara ia duduk di sofa single. Raka menurut tanpa protes.

"Kamu suka sama anak saya?"

"Hah?" Raka cukup terkejut dengan petanyaan papa Anya yang terkesan tiba-tiba untuknya. Raka tergagap, agak takut dengan aura papa Anya yang menakutkan, apalagi selepas kejadian bogem kemarin.

"Ah, belum, Om. Tapi ... diusahakan. Nggak susah buat suka sama anak Om."

Papa Anya mengangkat alisnya tinggi. "Oh ya?" tanyanya meremehkan, seolah tak yakin dengan ucapan Raka walaupun terdengar meyakinkan.

"Iya, Om."

"Kamu masih manggil saya 'Om'?" Kening Papa Anya berkerut. "Kamu nggak denger tadi orang-orang udah bilang sah?"

"Hah?" Raka tergagap lagi.

"Padahal saya tau kamu pinter, tapi kok hah-hoh hah-hoh gini?"

"Eh?" Raka menggaruk tengkuknya, meringis lebar. "Itu---gugup."

"Sama papa mertua?"

"Iya---Pa." Raka merunduk agak malu. Sungguh, agak menggelikan melihatnya seperti ini. Padahal biasanya dia cool. Sialan memang.

Papa Anya mengibaskan tangannya. "Balik ke topik. Geli lihat kamu malu-malu monyet gini."

Raka meringis lagi. Tak berani membantah.

with Friend (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang