11. GRADUALLY

70.5K 3.4K 65
                                        

Happy Reading^^

***

Secercah cahaya memaksa masuk ke dalam kelopak matanya, mengganggu tidurnya. Sejenak Anya tampak menggeliat, hidngnya mengendus bau harum yang menguar.

Menyesuaikan cahaya yang masuk melewati celah jendela kamar, Anya akhirnya bangkit menyibak selimut. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka delapan. Ah, dia bangun terlalu siang. Bahkan Raka saja sudah tak ada di sampingnya.

Bangkit turun dari ranjang, Anya melangkah menuju dapur, menduga bahwa di sanalah Raka berada.

Benar saja, cowok itu mengenakan apron dan sedang fokus memasak. Mendadak Anya merasa seperti istri tak berguna yang bukannya memasak untuk suami, malah sebaliknya.

Tiba-tiba Raka berbalik. Dilihat dari ekspresi wajahnya, Raka tampak terkejut melihat kehadiran Anya. Walau sedetik berikutnya cowok itu tersenyum.

Melepaskan apron, Raka lantas melangkah mendekat. "Pagi," sapanya. Detik berikutnya yang cowok itu lakukan sukses membuat Anya membeku, seolah darahnya berhenti mengalir, mengejutkan jantungnya.

Bagaimana tidak, cowok itu tiba-tiba mengecup pipinya, dan itu cukup lama.

Bahkan setelah menjauh, bisa-bisanya Raka tersenyum tanpa dosa. Mendekat, Raka lantas berbisik, "Kendaliin ekspresi Lo, Anya. Mulai sekarang, Lo harus terbiasa."

Padahal ngomong biasa, kan, bisa. Kenapa harus berbisik tepat di telinganya sampai hembusan napas cowok itu mengenai lehernya? Anya menggerutu dalam hati.

Memejamkan mata sesaat, Anya menetralkan ekspresi wajahnya. Ia balas tersenyum tak kalah lebar dari Raka. Melakukan serangan balasan, Anya berjinjit balas mencium ujung bibir Raka, tepat pada luka lebam yang masih terlihat samar.

"Pagi juga," sapanya membalas dengan suara riang. "Suami," sambung Anya.

Ingin rasanya Anya terbahak melihat ekspresi kaget Raka yang tak kalah lucu. Salah siapa main-main. Memangnya Anya tak bisa membalas?

Anya terkekeh, lalu menepuk pundak Raka sekali. "Udah kagetnya, Ka. Ayo makan, baper juga butuh tenaga. Yuk!"

Anya lebih dulu melangkah menuju meja makan, meninggalkan Raka dan duduk di sana, mulai menata lauk-pauk yang dimasak Raka.

Sementara Raka di tempatnya merutuki diri. "Sialan," gumam cowok itu menyugar rambutnya dan berjalan menuju meja makan.

Kali ini Raka membiarkan Anya mengambilkan nasi dan menatakan lauk untuknya.

"Sorry, cuma ini yang bisa gue masak."

"Besok-besok biar gue aja yang masak."

"Gue bantu, jangan sampai capek." Alasan lainnya karena Raka masih terlalu takut Anya menyentuh benda tajam di dapur.

"Lo juga," balas Anya membuat Raka mengangkat alis. "Jangan sampai capek," sambung Anya.

Raka membalas dengan senyuman. "Lo beneran mau berhenti kuliah?"

"Iya. Temenin gue ngajuin surat permohonan, ya?"

"Iya, pasti."

Anya mulai melahap makanannya, sementara Raka malah menatapi itu, sontak membuat Anya mendongak dengan tatapan tanya. "Kenapa?"

Sudut bibir Raka tertarik. "Enak nggak?"

Anya mengangguk singkat. "Enak, kok."

Helaan napas lega keluar. "Nggak sia-sia gue sering masak bareng ibu."

with Friend (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang