34. LOWEST POINT

40K 1.8K 8
                                    

Hehe, cung yang dah baca part ini?

Tandain kalau ada typo gaiss

***

Happy Reading^^

***

Anya menggerai rambutnya, menatap pantulan wajahnya di cermin. Kemudian mengoleskan liptint pada bibirnya agar tidak terlihat begitu pucat. Selesai, ia pun menarik sudut bibirnya.

Hari ini Anya berniat pergi ke rumahnya sebentar di seberang jalan, hanya untuk mengambil alat lukisnya. Anya ingin menyibukkan diri dengan warna-warna dari cat lukis di atas kanvas, seperti dulu lagi. Dua hari setelah Raka pergi, rumah terasa benar-benar sepi. Ibu juga tidak membiarkannya melakukan pekerjaan berat.

"Mau ke mana, Mbak?"

"Mau ke rumah sebentar, Bu. Mau ambil cat sama kanvas."

"Oh, ya udah. Hati-hati, ya."

Anya mengangguk. "Iya, cuma depan rumah aja, Bu. Nggak usah khawatir."

Mengeratkan cardigannya, Anya lalu melangkah pelan menuju rumah bercat putih cukup mewah itu. Begitu masuk, Mbak Yuni yang sedang istirahat di depan televisi itu sontak bangkit.

"Eh? Mbak Anya?" kagetnya, tak begitu menyangka Anya datang.

Anya tersenyum. "Istirahat aja nggak papa, Mbak. Aku cuma mau ambil beberapa cat sama kanvas, kok."

Bukannya menurut, Mbak Yuni malah bangkit mendekat, mengikuti langkah Anya menuju kamar.

"Biar saya bantu, Mbak."

Anya yang agak kesusahan membawa itu akhirnya membiarkan Mbak Yuni untuk membantunya. Anya membawa berbagai macam cat, sementara Mbak Yuni kanvas dengan berbagai ukuran.

"Mama Papa masih sering pulang malam, Mbak?"

Mbak Yuni menoleh, kemudian menampilkan senyum tipisnya. "Iya," jawabnya.

"Waktu itu Haidar datang ke sini nggak, Mbak? Sempat ngobrol sama Mama Papa?"

Mbak Yuni mencoba mengingatnya. "Oh iya, Mbak. Dia ke sini hari itu. Cuma sebentar aja, sih, tapi."

"Mama Papa gimana, Mbak? Maksudnya ... mereka nggak marahin Haidar, kan?"

Mbak Yuni meringis samar. "Nggak begitu tau, sih, Mbak. Cuma memang ekspresi wajahnya kayak lagi nggak enak gitu, tapi Mas Haidarnya kelihatan santai baik-baik aja, kok."

Anya mengangguk paham. Agak dibuat khawatir dengan kondisi Haidar yang tidak dapat diterima baik di keluarganya. Anya paham betul apa alasan laki-laki itu selalu menghindar berbicara atau sekedar bertemu dengan mama papa.

Walau dari ekspresi wajahnya memang setenang itu, tapi Anya paham Haidar menyimpan dan menekan rasa kecewanya berkali-kali, dan betapa bodohnya ia tetap memaksa laki-laki itu untuk tetap sabar dan menjaga hubungan baik dengan mama papa.

"Sebenarnya ada apa, sih, Mbak?"

Anya tersadar dari lamunan singkat, ia pun menoleh. "Kenapa?"

"Mas Haidar itu, lho. Kenapa Ibuk sama Bapak, kok, kayak nggak suka gitu. Memangnya Mas Haidar pernah buat salah fatal, kah?"

Anya menggelengkan kepala, tanda ia memang tidak tahu mengapa mama papanya begitu tidak suka pada Haidar.

"Yang itu juga dibawa, Mbak?" Mbak Yuni menunjuk kanvas yang agak besar di ujung ruangan.

"Oh, nggak usah. Keberatan, hehe. Bawa yang kecil sama sedang aja, Mbak. Biar kapan-kapan minta tolong Raka ambil aja. Lagian abis lahiran pengen tinggal di rumahnya Raka aja. Bukan di rumah Ibu, soalnya takut malah ngerepotin."

with Friend (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang