22. NEWS

46.8K 2.2K 31
                                    

Haloo, apa kabar nih?

Tandai kalau ada typo yaa

***

Happy Reading^^

***

"M--Mbak ... Anya?"

Meski belum sepenuhnya hilang rasa kagetnya, sang ibu tetap bangkit dan membantu Anya agar duduk karena kesusahan berdiri.

"Ibu ... ngapain di sini?" Nada suara Anya tercekat dan nyaris hilang, melirih di akhir kalimatnya.

Tersenyum samar, ibu memegang bahu Anya penuh sayang. "Mbak Anya gimana keadaannya? Maaf, ya, Ibu belum sempat jenguk, padahal Ibu juga di rumah sakit ini."

Bukan itu jawaban yang Anya inginkan. Bukan itu jawaban yang mampu menenangkan rasa khawatirnya. Meski begitu, Anya berusaha menarik senyumnya.

Pandangan Anya lalu beralih pada Disty. Temannya itu mengangguk sopan menyapa ibu sebelum akhirnya mengambil duduk di samping Anya, agak jauhan memberi waktu pada Anya berbicara pada ibu mertuanya.

"Ibu nggak papa?" Anya melontarkan pertanyaan lagi.

Sang ibu tersenyum, masih memegang pundak Anya. "Seharusnya ibu yang tanya, Nak. Kamu nggak papa? Baik-baik aja, kan? Kata dokter gimana?"

"Baik, Bu." Mungkin hanya itu yang mampu Anya katakan. "Kata dokter, Anya cuma kecapekan."

"Jangan stres-stres, ya, Mbak. Kasian baby-nya. Harus perhatiin pola makan, kesehatan juga, Ibu selalu sayang sama Mbak Anya, kok."

Dada Anya terasa diremat kuat-kuat. Puji syukur ia sangat dicintai mertuanya di saat banyak luar sana yang justru dimaki-maki ibu mertua. Anya bersyukur akan hal itu, tapi apakah ibunya tahu, bahwa luka terbesarnya disebabkan anaknya sendiri?

"Maafin anak ibu."

Seolah paham apa yang menjadi pikiran Anya, sang ibu berkata lirih. Ujung matanya berair, siap tumpah jatuh ke pipi. Anya semakin sesak dibuatnya.

"Ibu nggak membela siapapun di sini, Nak. Ibu tahu anak ibu salah, tapi ibu mohon tolong selesaikan baik-baik, ya. Setelah ini, keputusan ibu serahkan semuanya sama Mbak Anya. Kalau Mbak Anya nggak kuat, Mbak Anya boleh lepaskan semua yang menjadi pusat lukanya Mbak Anya, termasuk anak ibu."

Anya terisak sembari merunduk dalam. Bahunya yang dipegang sang ibu bergetar, walau Anya berusaha mati-matian menahan tangisnya, tapi justru lebih deras lagi tak mampu ia bendung. Bahkan di belakang, Disty ikut mengusap punggungnya menenangkan.

"Kali ini ibu nggak minta kesempatan kedua atau apapun itu, ibu cuma minta supaya Mbak Anya bahagia. Anak ibu terlalu jahat untuk wanita sebaik Mbak Anya, maafkan ibu yang belum mampu mendidiknya dengan benar, Mbak."

Anya menghambur ke pelukan sang ibu, mendekapnya erat saling melupakan sedih.

Ibu mengusap punggung Anya. "Raka korban kecelakaan pesawat hari itu, Mbak. Setelah puluhan telepon yang sengaja ibu abaikan karena ibu juga marah sama kelakuan dia yang ninggalin Mbak Anya gitu aja. Dia salah satu korban dengan luka cukup berat yang ditemukan malam itu. Kata dokter, Raka dinyatakan koma."

Anya seperti lupa cara bernapas detik itu juga, baru besar seakan jatuh menimpanya. Terlalu rumit untuk dirinya menjelaskan bagaimana perasaannya kala itu. Tuhan begitu mengujinya hingga titik terberat.

"Kakinya yang paling parah, mungkin untuk beberapa hari atau bahkan bulan Raka belum bisa berjalan, Mbak. Ibu memang nggak tau, sesakit apa hati Mbak Anya sampai Tuhan memberikan karma untuk Raka seperti itu."

with Friend (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang