marah

2.7K 77 13
                                    

"iya nggak papa toh nak, bisa lain kali, masih ada Rendy juga" Abah Usman menyesap kopi hitamnya, di samping beliau ada Ning Raisa yang terus menunduk dengan kedua tangan yang saling menggenggam. Umma Maryam datang dengan membawa sepiring kue bolu pisang.

"Di makan nak, siapa namanya A--le, siapa na"

"Alesha umma" jawab Azha setelah ia geser satu gelas teh hijau di depan Alesha.

"Masyaallah cantik " Alesha tersenyum canggung, sesekali ia mencuri pandang ke arah putri Kiyai yang nampak tegang duduk di samping Abah Usman. Cincin putih yang melingkar di jari manisnya sebagai tanda jika wanita itu sudah terikat dengan seorang pria dia masa lalunya, Alesha jadi salah tingkah saat Raisa yang duduk di sebrang tiba-tiba mengangkat kepala yang membuat pandangan mereka bertemu.

"Kenapa? istrinya lagi ngisi ya? jadi nggak mau di tinggal" Azha tersenyum simpul mendapat pertanyaan Sepertinya itu, begitu juga dengan Alesha. Azha sungguh tidak tega meninggalkan Alesha yang sedang hamil muda sampai satu bulan lamanya, walaupun Alesha sampai sekarang belum ingin jujur mengenai kehamilannya itu.

Sedangkan Raisa yang juga mendengar hal serupa hanya bisa menggigit bibirnya, menahan rasa sesak di dalam dada. Pria yang bertahun-tahun bertahta di hatinya sebentar lagi akan menjadi ayah dari perempuan lain, sedangkan dia harus menikah dengan pria yang tidak pernah ia cinta demi menyenangkan hati orang-orang yang ia sayang.

"Abah, Umma, Ais masuk dulu ya, Ais sebentar lagi mau ngisi kajian di acara ibu-ibu desa"

"Iya nak"

"Alesha, aku masuk dulu, maaf aku tinggal"

"Nggak papa, gu-- aku sama Azha juga sebentar lagi mau pamitan" Raisa segera melenggang pergi, tak kuat ia menapakan kaki di depan pria yang lengannya sama sekali enggan di lepaskan oleh seorang wanita yang begitu membuat Raisa iri.

Selalu di dalam hati Raisa tanamkan keyakinan Jika apa yang sudah di takdir kan untuknya, itulah hal yang terbaik dari Allah, tapi mau bagiamana pun Raisa menyakinkan hatinya, Raisa tetaplah wanita biasa, tidak mudah baginya melupakan begitu saja sosok Azha yang sudah bertahun-tahun lamanya mengisi ruang kosong di dalam sana.

Dengan alasan ingin melupakan Azha pula lah, Raisa akhirnya menerima khitbah dari Putra bungsu Kiyai Farhan, yang sama sekali ia tidak tau niat di balik khitbah itu.

Pernikahan mereka akan segera di laksanakan dalam waktu dekat. Raisa berharap nama Azha bisa hilang dari hatinya setelah ia menikah, dan berganti dengan nama sang suami, Daffa Al Birru. Walaupun jujur ia merasakan keraguan dengan sosok pria yang sebentar lagi akan menjadi imamnya.

Raisa tahu betul jika pria itu menjauhi kehidupan pondok pesantren, bahkan bertahun-tahun tidak pernah pulang, pria itu memilih menjadi Pria bebas tanpa ada tuntutan umi dan abinya. Seperti apapun nanti, Raisa hanya akan menjalani sebisanya.

....

Alesha menempelkan Kepalanya di punggung Azha, tangannya suka sekali mengusap perut rata pria itu.

"Sayang" panggil Alesha dengan pandangan kosong menerawang entah kemana.

"Kenapa sayang ku?"

"Kamu yakin Daffa serius sama  niatnya ingin menikah crush kamu itu?" Suka sekali memang Alesha ini mencari penyakit. Apa perlu kata crush ia ucapkan juga.

"Aku nggak tau sayang" jawab Azha singkat. Azha tidak ingin terlalu memusingkan pernikahan Raisa dan Daffa. Yang lebih penting sekarang Alesha dan janin yang ada di dalam kandungan Alesha, entah sampai kapan Alesha akan menyembunyikannya.

"Zha"

"Kenapa sayang?"

"Kalau terjadi sesuatu sama aku, aku rela kamu nikahi Nesha ketimbang Raisa, Azha!" Alesha memekik, jantung Alesha berdetak lebih cepat. Azha mengerem secara mendadak.

"ELZHA" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang