November 2019
From: Jati Samudra
Rissa, beberapa hari sebelum aku datang ke rumahmu buat nyatain cinta, aku itu dilanda kebingungan hebat. Apakah aku benar-benar harus bilang sama kamu soal perasaanku? Atau aku biarkan saja semuanya jadi kayu yang dimakan api? Habis jadi abu.
Kamu temanku. Sejak SMA, kamu adalah satu-satunya teman baik yang aku punya—lupain soal Dio, kadang-kadang, dia ngeselin sampai aku terlalu malas menganggapnya sebagai teman. Dan fakta bahwa kamu temanku sejak dulu membuatku begitu ragu buat bilang sama kamu soal perasaan ini.
Bagaimana kalau ternyata selama ini cuma aku yang suka sama kamu? Bagaimana kalau baiknya kamu dan perhatiannya kamu selama ini karena kita memang teman? Dan kamu memperlakukan semua temanmu begitu? Bagaimana kalau kedekatan kita setelah kerja di kantor yang sama bukanlah hal yang spesial buat kamu? Bagaimana kalau ungkapan perasaanku justru jadi bumerang yang menghancurkan hubungan pertemanan kita?
Aku ragu, bingung, juga takut.
Selama beberapa hari perasaanku nggak tenang soal itu. Rasanya, bukan hanya perasaanku yang penuh tentang kamu, tapi juga pikirkanku. Apalagi setelah mendengar gosip yang mengatakan bahwa kamu sedang dekat dengan salah satu cowok di divisi sebelah. Aku semakin khawatir. Khawatir pada diriku sendiri.
Tapi kamu tahu apa yang pada akhirnya bikin aku yakin buat bilang sama kamu malam itu?
Sehari sebelumnya, di tengah perasaan bergelut itu, aku ketemu sama seseorang. Dia perempuan. Tingginya mungkin sekitar 160-an, lebih tinggi sedikit dari kamu. Saat aku ketemu dia di pasar malam yang aku datangi karena merasa suntuk dan butuh sebuah atensi, saat itu dia kelihatan lagi kebingungan, celingukan dengan begitu panik seperti tengah mencari sesuatu ke sana-sini.
Awalnya, aku nggak terlalu peduli, aku ingin melewatinya begitu saja, mencari sesuatu yang benar-benar bisa membuatku lebih tenang sedikit—meski kenyataannya, pasar malam bukanlah pilihan yang tepat untuk menenangkan diri. Di sana terlalu ramai, terlalu berisik, terlalu penuh. Tapi itu juga yang aku butuhkah. Aku butuh dialihkan oleh sesuatu agar tidak terus memikirkan kamu, agar aku mendapat jawaban pada kebingunganku sendiri. Haruskah aku benar-benar melepas status pertemanan kita dengan mengungkapkan perasaanku? Walau risikonya, aku akan kehilangan kamu jika kenyataannya kamu nggak pernah melihat aku lebih dari seorang teman.
Lalu, ketika aku hendak pergi dari sana, kakiku menendang sesuatu.
Dompet berwarna biru.
Tentu saja, sebagai manusia normal, melihat dompet yang bukan milik sendiri ada di depan mata, pasti langsung diambil tanpa pikir panjang. Dan rencanaku untuk mengabaikan perempuan itu gagal, Rissa, karena begitu aku buka dompetnya, aku melihat sebuah foto di sana, dan itu adalah perempuan itu. Yang ketika aku lihat KTP-nya, bernama Kalina Paramita, yang lahir empat tahun setelahku.
"Cari sesuatu?"
Kamu tahu, kan, Rissa? Aku ini baik hati. Kamu sendiri yang bilang kalau aku ini begitu baik. Iya, kan? Karena alih-alih mengambil uang sebesar 154.000 rupiah yang ada di dalam dompetnya, menggasak ATM dan kartu kreditnya, aku justru menghampirinya, bertanya padanya.
Perempuan itu, yang tanpa kami berkenalan, aku sudah tahu namanya duluan dengan agak tidak adil, dia menatapku dengan raut putus asanya. Rambutnya digulung ke atas, persis seperti yang sering kamu lakukan jika sedang pusing menyelesaikan pekerjaan sampai tak punya waktu untuk keramas. Mungkin bedanya, rambutnya saat itu tidak lepek dan bau seperti rambut kamu. Mungkin, ya …. Tolong, jangan marah soal ini, Ris.
"Dompet. Saya cari dompet," katanya.
"Kalau boleh tahu, dompetnya warna apa?"
Di bawah bianglala yang sedang berputar, di tengah bisingnya orang yang berlalu-lalang, musik cempreng yang berdentum, dia kembali menatapku. Jujur, aku agak kasihan. Matanya kelihatan bisa mengeluarkan air dalam waktu dekat jika dia tidak menemukan apa yang sejak tadi dia cari. Tapi, meski aku sudah yakin dompet yang kutemukan miliknya, aku nggak bisa begitu saja menyerahkannya, kan? Harus ada kuis dadakan dulu.