Desember 2024
—Jati Samudra
Benar, waktu bisa mengubah apa pun dan siapa pun. Siapa juga yang mengira bahwa saya batal menikah seminggu sebelum acara padahal malamnya saya masih berkomunikasi ria dengan calon istri saya. Memporak-porandakan bukan hanya perasaan saya, tapi kehidupan saya.
Bapak pergi setahun setelah kejadian itu. Komplikasi. Berawal dari stroke ringan yang dideritanya akibat berita mengejutkan itu, sampai lambat laun penyakit lain menyusul membuat tubuh Bapak kian melemah sebelum akhirnya berhenti berjuang.
Saya kacau. Dan melihat keluarga saya sama berantakannya, membuat saya nyaris gila saat itu.
Ibu hanya sedikit lebih baik daripada Bapak. Meski beliau yang paling memperlihatkan begitu terpukulnya saat anak lelakinya batal menikah, tapi beliau adalah yang paling sering menguatkan saya.
Batalnya pernikahan saya, lalu disusul kepergian suaminya, membuat kesehatan Ibu juga mulai menurun. Beruntung, Mbak Sofi mau menjaga Ibu karena saya yang menyebabkan itu semua justru memilih pergi dari rumah dengan alasan lokasi baru bengkel terlalu jauh dari rumah.
Padahal saya hanya menghindari semuanya. Segalanya. Melihat Ibu yang harus kehilangan suaminya, kehilangan sehatnya, membuat rasa bersalah semakin keras meninju saya. Mereka mungkin bisa mengatakan tak apa, bahwa semesta mungkin punya rencana yang lebih baik nantinya, tapi apa yang terjadi di depan mata saya tak pernah bisa membuat saya merasa baik-baik saja, bahkan empat tahun berlalu.
Empat tahun berlalu juga status seseorang berubah. Menikah. Bercerai.
Saya bisa mengira kalau Kalina punya masa lalu dengan Aksel, tapi mendengarnya secara langsung bahwa masa lalu tersebut bukan masa lalu yang biasa, membuat saya untuk beberapa saat termenung, bertanya-tanya …, mana yang lebih baik? Menikah lalu bercerai atau batal menikah?
Atau mungkin, mana yang lebih sakit? Sebab tak ada perpisahan yang baik. Iya, kan? Jika baik, seseorang pasti tak akan pernah memutuskan untuk berpisah.
"Serius, hampir dua bulan dia tinggal di sini, lo belum pernah ngajak dia makan nasi uduk paling enak sejagat raya?" Mbak April yang beberapa saat lalu menelepon saya, menanyakan apa saya sedang sibuk atau nggak, menanyakan apa saya sudah makan malam atau belum, sebab dia seperti kebiasaannya jika sedang mampir ke rumahnya itu, akan mengajak saya makan nasi uduk Mang Umam yang memang punya rasa luar biasa.
Dan setelah saya iyakan untuk makan malam pakai nasi uduk Mang Umam karena kebetulan memang belum makan dan sudah lama tidak makan ke sana, Mbak April berinisiatif mengajak Kalina.
Saya mendesah. "Orangnya sibuk, Mbak. Gue juga jarang lihat dia keluar rumah." Karena sampai saat ini pun Kalina belum mengunjungi saya lagi di bengkel untuk membicarakan kursi yang katanya mau dia buat.
Pertemuan terakhir saya dengannya kemarin, saat pembukaan Ask Bread. Kami berbincang sebentar bersama Mbak April, sebelum dia memilih pergi menghampiri Aksel setelah memberitahu Mbak April—dan saya yang memang berada di sana—bahwa dia dan Aksel pernah menikah. Dia beralasan ingin mengambil Mimo, tapi sampai saya dan Mbak April hendak pulang, perempuan itu tak kunjung terlihat. Kalina baru sampai rumah sore hari, kebetulan saya melihat mobilnya melintas di depan rumah saya. Dan di malam hari, Mimo seperti sudah biasa, datang mengunjungi saya.