8. Teman

527 100 17
                                    

Desember 2024

—Kalina Paramita

Banyak yang terjadi padaku dan Mas Aksel selama satu tahun ini. Terlalu banyak sampai aku mengira waktu satu tahunku mungkin lebih panjang dari orang lain.

Mulai dari aku yang harus tetap melanjutkan buku komik ketigaku di tengah kacaunya diriku akibat perceraian demi bisa tetap terbit di waktu yang sudah ditentukan. Salah satu komik online-ku ditawari untuk dijadikan film oleh salah satu rumah produksi di tengah aku yang masih tertatih untuk membangun kembali rasa gembira ketika sedang menggambar. Mas Aksel yang tiba-tiba berhenti mengajar karena katanya ingin lebih fokus pada bisnis toko rotinya, padahal ketika masih bersamaku, dia tak pernah membicarakan ingin berhenti menjadi dosen meski mengelola bisnis sambil membuat roti lebih disukainya. Sampai Ask Bread yang membuka toko kedua di daerah tempat di mana aku berharap melupakan segala kekacauan diriku karena perceraian itu.

Di akhir minggu bulan Desember, di saat hujan sudah lebih sering turun, di sinilah aku berada, bersama Mimo dan sebuket bunga sebagai ucapan selamat, di tengah keramaian orang menyerbu toko roti yang memberikan diskon di awal pembukaannya, dan juga memberikan tester gratis untuk para pengunjung yang datang.

Aku mendesah. Menatap beberapa karangan bunga yang bergeser rapi di depan toko, beberapa nama pengirimnya bahkan aku kenali—rekan dosen dan teman akrabnya, juga Pahat Djati. Kalau kami masih bersama, nama Papa pasti ada di antaranya, sebagai rekan sesama dosen, juga sebagai mertua yang baik. Iya, kan?

"Selamat ya, Mas." Aku memberikan buket bunga yang aku bawa pada Mas Aksel yang berdiri melayani pelanggan yang datang, bersama apron cokelat tanpa papan namanya. Dia sedang memberikan roti berukuran kecil sebagai tester pada para pengunjung yang datang saat aku menghampirinya. Dan dia tak melupakan senyumannya.

"Makasih udah sempetin dateng." Dia menerima buket bunga itu setelah melepas sarung tangan plastiknya. "Eum …," pandangannya mengedar ke seluruh penjuru toko, "nggak ada tempat kosong. Mau ke ruanganku aja?"

Aku juga ikut melihat ke sekeliling. Memang ramai dan tak ada tempat kosong untuk duduk, semuanya penuh, salah satu meja terisi oleh seorang lelaki yang aku kenal, yang karangan bunganya aku lihat di depan tadi, yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan berpenampilan agak nyentrik yang tak aku kenal. Lalu menimbang, apakah mengganggu dua orang itu lebih baik daripada pergi ke ruangan Mas Aksel yang sifatnya pribadi, dan merasa aku bukan lagi seseorang yang bisa masuk ke ruangan itu dengan bebas seperti dulu.

Mimo mengeong. Di gendonganku, dia kelihatan lebih banyak diam. Meski kenyataannya Mimo adalah kucing pendiam, tapi dari tatapan mata bulatnya aku tahu kalau dia sedang merasa tidak nyaman berada di tengah ramainya orang saat ini, Mas Aksel pun pasti menangkap hal itu.

"Aku nggak bisa tinggalin Mimo sendirian," ujarku.

"Sini." Mas Aksel lalu mengambil alih Mimo, dia agaknya sudah bisa menebak aku akan mengambil pilihan apa.

"Aku duduk di sana aja." Aku menatap satu kursi kosong di antara Jati dan perempuan itu.

"Aku bawa Mimo ke dalem nggak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Ya udah, nanti aku bawain minum buat kamu. Kopi kayak biasa?"

Kayak biasa.

Aku hanya tersenyum sebelum melangkah menuju meja tersebut dan Mas Aksel masuk ke dalam membawa serta Mimo bersamanya. Jadi begini rasanya tidak melakukan apa yang biasanya dilakukan karena sebuah hubungan yang kandas? Setahun berlalu, aku belum terbiasa.

"Boleh saya … duduk di sini?"

Dua orang itu langsung mendongak menatapku. Jati kelihatan tidak terkejut, tapi perempuan bersamanya kelihatan bingung dengan kehadiranku.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang