November 2019
From: Jati Samudra
Rissa, kalau kamu mengira banyak yang terjadi malam itu antara aku dan perempuan pemilik dompet berwarna biru sampai akhirnya aku begitu yakin menyatakan cinta sama kamu, maka jawabannya salah.
Nggak banyak yang terjadi antara kami selama hujan turun di sebuah tenda yang ternyata adalah warkop. Aku nggak tahu kapan terakhir kali aku ke pasar malam, tapi aku baru tahu kalau selain mainan dan jajanan, ada juga orang yang membuka tenda untuk dijadikan warkop dadakan. Dan aku orang yang cukup beruntung karena ketika hujan turun tanpa aba-aba tepat seketika setelah aku dan Kalina berkenalan, kami nggak punya pilihan lain untuk berlari mencari tempat berteduh.
Iya, warkop itu jadi pilihan pertama kami karena jaraknya tak jauh dari bianglala.
Kamu tahu, Rissa? Aku dan Kalina bahkan tak mengatakan apa pun, tak memberi sinyal apa pun, tapi langkah kami secara spontan melangkah secara bersamaan ke arah sana, seperti sudah diperintah oleh seseorang. Padahal, ada banyak tenda lain yang bisa dijadikan tempat berteduh, tapi kaki kami memilih tenda warkop itu.
Kami berdiri bersebelahan dengan canggung. Saling melirik dengan bingung, seolah sebelumnya aku tidak melakukan suatu hal yang menggelikan. Kamu tahu, kan? Iya, aku juga mengakuinya kok, kalau alasan yang aku lontarkan untuk memberitahu namaku itu cukup menggelikan.
"Mau minum?" Dia yang berbicara lebih dulu padaku, Rissa. Nadanya agak canggung, tapi aku cukup terharu dengan inisiatifnya yang mau memecah kecanggungan itu lebih dulu.
Sekarang, kamu pasti sedang meledekku, kan, Rissa? Mengatakan bahwa aku pecundang yang bukannya berbicara lebih dulu malah membiarkan perempuan yang memulainya. Iya, kan? Akui saja. Aku nggak apa-apa.
"Ayo, saya traktir sebagai ucapan terima kasih." Dia juga yang bergerak lebih dulu untuk menduduki salah satu bangku di sana, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya.
Aku tersenyum kecil saat duduk di hadapannya. Kami sama-sama kikuk, masih sama-sama canggung, tapi sama-sama berusaha menghilangkan hal itu. Karena agaknya hujan akan turun cukup lama, dan parkiran lumayan jauh dari tenda warkop ini. Aku mungkin bisa basah kuyup jika memaksakan menerobos hujan untuk sampai di tempat mobilku diparkirkan. Jadi, minum segelas kopi lebih dulu sembari menunggu hujan agak reda sepertinya bukan pilihan yang buruk.
Lumayan juga, Rissa. Ditraktir, hehe.
"Kopi susu. Tapi susunya dikit aja, yang penting kopinya berubah jadi warna cokelat," aku menyebutkan pesananku, dan hal itu membuat Kalina mengerutkan keningnya, sepertinya dia heran. Kamu tahu, kan, Rissa? Aku nggak bisa minum kopi sachet-an yang sebenarnya bisa lebih mudah jika aku ingin kopi yang warnanya tidak hitam. Dan aku pun nggak suka kopi hitam—kecuali americano. Ingat ya, Risaa, americano dan kopi hitam adalah jenis kopi yang berbeda. Rasanya berbeda, aromanya berbeda, warnanya pun berbeda. Jadi, aku pesan yang agak aneh sedikit tak apa, yang terpenting tak merepotkan penjualnya.
"Mau pesen makanan juga?" Kalina bertanya padaku.
Mataku melirik pada segala jenis gorengan yang disajikan, juga bungkus mie instan yang benar-benar menggoda di cuaca seperti saat itu. Hujan, dingin, dan semangkuk mie instan adalah pilihan yang tepat.
Kalau aku tidak ingat dengan siapa aku sekarang, aku pasti sudah dengan cepat mengatakan pada penjualnya kalau aku pesan dua bungkus Indomie ayam bawang pakai dua telur juga—itu adalah satu porsi versiku, Rissa. Sayangnya, aku tahu diri, jadi aku menahan diri untuk mendapatkan itu semua jika sudah pulang saja. Apalagi tahu kalau Kalina yang akan membayar semuanya. Aku ini orang baik, aku nggak mungkin memeras seseorang hanya karena telah menemukan dompetnya. Iya, kan?
