Maret 2025
—Kalina Paramita
Meski cuaca sudah mulai menghangat, pagi hari di sini akan tetap sedingin es, dan di atas sana, di perkebunan teh, kabut begitu tebal sampai aku kesulitan melihat. Itu yang membuat aku jadi selalu bangun lebih siang—meski sebenarnya tidur pun jadi lebih malam. Selain mengerjakan komik, aku juga diburu tenggat untuk menulis naskah film, walau hanya berpartisipasi sedikit dalam penulisan naskahnya, aku dan Mbak Rita tetap harus sering berdiskusi, dan itu memakan cukup banyak waktuku.
Dan mungkin …, kalau nggak ada Mimo, aku benar-benar akan merasa bosan.
Atau juga Jati.
Setelah pertemuan kami di bengkel kayunya minggu lalu itu, kami setiap hari bertemu. Setiap hari. Bahkan rasanya ruang obrolan kami jadi penuh oleh pesan singkat yang kami kirim, yang rata-rata isinya membahas hal sepele. Meski aku harus mengakui, itu menyenangkan.
Jika dia sedang di bengkel dan aku di rumah mengurus kerjaanku yang rasanya tidak pernah bertemu kata selesai, obrolan singkat itu mengalir terus, seperti tanpa sadar aku jadi lebih sering menatap ponsel untuk menunggu balasan yang memang terkadang cukup lama, karena pekerjaannya yang tidak memudahkan dia untuk dengan mudah memainkan ponsel seenaknya sepertiku. Aku mengerti. Mencoba untuk mengerti.
Setelah dia pulang di sore hari, Jati kadang datang ke rumahku dengan alasan bertemu Mimo. Akau aku yang membiarkan Mimo keluar menuju rumahnya, kemudian aku menyusul dengan alasan mengambil Mimo. Meski pada akhirnya kegiatan kami berujung pada acara makan malam bersama, entah di rumahnya, atau di rumahku, atau memutuskan keluar bersama mencari makanan enak dan layak.
Itu kegiatan yang sederhana, selalu berulang, tapi entah mengapa aku tak bosan untuk melakukannya dan bahkan menunggu esok untuk melakukan itu lagi.
Hari ini, di penghujung bulan Maret, aku baru bangun setelah jam dinding menunjukkan pukul sepuluh. Semalam, setelah pulang dari warung nasi uduk Mang Umam bersama Jati dan tentu saja Mimo, aku kembali ke rumah, berniat untuk tidur lebih cepat dengan membaca buku dan memutuskan untuk rehat mengerjakan komik malam hari, Alda justru meneleponku, membuat obrolan yang semula singkat, basa-basi yang menurutku sudah basi—menanyakan kabarku, kabar Mimo, tentang perasaanku yang sangat dia khawatirkan, juga tentang Mas Aksel, apakah aku bertemu dengannya dalam waktu dekat ini—dia seolah bisa merasakan sesuatu karena timing-nya pas, minggu lalu aku baru bertemu dengan Mas Aksel yang berakhir aku pasrah menceritakan pertemuan itu, lalu dia memaki karena katanya mau-maunya aku menemui mantan suamiku itu, lalu melarangku untuk yang kesekian kalinya untuk bertemu Mas Aksel. Dia juga bertanya soal hubunganku dengan tetangga yang tentu tidak aku jelaskan dengan rinci, aku hanya menjawab dengan singkat bahwa hubungan kami baik selayaknya tetangga cinta damai. Alda juga bertanya soal Rissa yang dia dengar ceritanya dari Angel, dan aku menjelaskan.
Sampai setelah dua jam berlalu—aku nggak sadar soal itu, dia mengumumkan sesuatu yang menjadi alasan utama mengapa semalam dia menelepon.
"Minggu depan lo free, ya." Bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Alda menekankan hal itu.
"Kenapa lo tiba-tiba ngatur jadwal gue?"
"Pokoknya lo harus free, terus pulang dua atau sehari sebelumnya juga nggak apa-apa deh."
Aku sampai mengerutkan kening karena tak mengerti dengan arah pembicaraan itu. "Apaan sih."
"Minggu depan … Liam sama keluarganya mau dateng ke rumah."
Untuk beberapa waktu aku diam, rasanya kemampuannya untuk mengolah kata hilang seketika mendengar satu kalimat yang sebenarnya aku sendiri sudah tahu akan tiba. Bagaimana sebagikan aku merespons? Aku senang, tentu saja. Alda adikku. Tapi rasanya … ada sisi lain di sudut entah sebelah mana di hatiku yang membuat aku sedih.