22. Spesial

500 90 26
                                    

Maret 2025

—Kalina Paramita

"Cuma cek kesehatan biasa, Kal. Kemarin tuh aku emang sempet ngerasa nggak enak badan, terus ke dokter sekalian medical check up. Nggak ada masalah, cuma flu biasa," begitu katanya, dan aku berusaha untuk percaya meski senyum yang Mas Aksel berikan terasa begitu mengganjal hanya karena dia tak menatapku saat mengatakannya.

Sekali lagi aku berusaha menerima.

Seperti yang pernah Angel katakan, meski perceraian kami berakhir dengan hubungan yang baik, aku tetap sudah tak punya hak untuk tahu lebih banyak tentangnya, begitu juga sebaliknya. Bukan kuasaku untuk menuntut Mas Aksel menjelaskan perihal kondisinya padaku dengan rinci tanpa ada yang ditutup-tutupi. Bukan kuasaku juga untuk marah jika sebenarnya Mas Askel berbohong terhadap kondisinya.

Entahlah. Aku mungkin hanya khawatir. Khawatir yang berlebih. Mungkin masih ada secercah rasa tanggungjawabku yang tertinggal untuk memperhatikan kondisi kesehatannya sebagai seseorang yang dekat dengannya. Pernah dekat sekali dengannya.

Aku mendesah. Menatap tiga bungkus kantong plastik berisi penuh oleh roti yang dibekalkan Mas Aksel ketika aku hendak pamit pulan, yang kalau Mas Aksel katakan, untuk menemani aku ketika sedang bekerja, atau mengganjal lapar di malam hari karena roti buatannya jelas jauh lebih sehat daripada mi instan yang biasa aku makan. Atau jika aku merasa roti itu terlalu banyak untuk aku habiskan sendiri, aku boleh membaginya dengan Jati, lelaki yang Mas Aksel ketahui menjadi tetanggaku dalam beberapa bulan ini.

Lalu berbicara perihal Jati, yang sudah tidak aku temui beberapa hari, tiba-tiba aku terpikirkan untuk mampir ke bengkel kayunya. Yang bodohnya, ketika aku sudah memarkir mobil di sana, aku tak tahu harus apa dan alasan apa yang harus aku buat jika ditanya oleh salah satu karyawan di sana.

Jika waktu itu aku pernah mengarang alasan minta dibuatkan kursi, sekarang aku harus apa ketika kursi itu sudah aku miliki? Aku nggak punya alasan lain yang membuatku terlihat benar-benar datang ke bengkel bernama Pahat Djati itu untuk keperluan kayu, bukan keperluan bersama pemiliknya.

Di samping mobilku, hanya ada satu mobil yang terparkir di sana, yaitu mobil pikap yang aku ketahui biasa digunakan untuk mengangkut barang pesanan atau potongan kayu tak terpakai untuk dibawa ke tempat pembakaran bengkel keramik yang jaraknya sekitar setengah jam dari bengkel kayu ini. Jati tak ada. Lagi pula, aku memang sudah seharusnya tak mengharapkan keberadaan Jati ketika aku sendiri pun tak menemukannya di rumah.

Ada apa dengan aku sebenarnya?

Apa aku sebegitu ingin cepat-cepatnya memberi beberapa bungkus roti dari Mas Aksel?

Atau aku … hanya ingin bertemu dengannya setelah beberapa hari terlewati?

Apa rasa kesepian itu tak luruh padahal aku baru bertemu dan mengobrol cukup banyak dengan Mas Aksel?

Aku merasa bodoh sendiri. Tapi ketika aku baru mau berbalik untuk kembali ke mobil, suara ngeongan Mimo yang begitu keras seketika menahanku.

Mimo mengeong dengan begitu kencang, bulu-bulunya berdiri, matanya memicing tajam menatap seekor kucing berwarna oren yang juga melakukan hal yang sama. Suara mereka beradu dengan nyaring dan menakutkan.

Aku panik. Dan kepanikan itu tak berhasil membuatku menahan Mimo lebih keras karena kucing itu berontak hingga akhirnya melompat turun menghampiri kucing oren di sana.

"Mimo!?" jeritku ketakutan.

Selama mengurus Mimo, aku belum pernah mengalami ini sebelumnya. Mimo termasuk kucing yang ramah dan cenderung tidak peduli pada sekitar. Bahkan ketika dia dibawa ke pet untuk melakukan grooming dan bertemu dengan kucing lain, Mimo tidak pernah begitu. Dia cukup tenang, hanya mengeong beberapa kali jika kebetulan aku atau Mas Aksel mendekati kucing lain dan berusaha menyentuh kucing lain. Itu juga yang membuat rencanaku dan Mas Aksel untuk mengadopsi kucing lain batal karena tahu Mimo adalah kucing pencemburu.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang