April 2025
—Kalina Paramita
Aku pikir, saat Jati menyetujui untuk memasakkanku sesuatu sebagai permintaan di hari ulang tahunku, dia hanya akan masak makanan paling sederhana dari banyaknya bahan masakan yang ada di kulkas. Mungkin tempe goreng yang dibumbu kecap, yang bisa dicampur sosis dengan telur orak-arik. Atau apa pun yang sederhana.
Tapi lelaki itu justru memasak sayur sop. Lengkap dengan wortel, kubis, kentang, brokoli, tahu, bahkan dengan potongan ayam, tak lupa juga daun bawang dan seledri, juga potongan tomat. Aku agak terkejut saat dia menyajikan semangkuk sup itu ke atas meja makan. Aku tak tahu dia memasak sayur itu karena aku sibuk beres-beres di lantai atas, kemudian mandi. Dan turun kembali ke bawah berbarengan dengan masakannya yang sudah siap.
Tak hanya itu, Jati juga membuat tempe goreng yang menurutku kedatangannya terlihat sangat baik, potongannya pun pas.
Apa sekarang aku terdengar seperti Chef Juna di ajang kontes memasak itu? Padahal aku sendiri tidak terlalu pandai memasak, dan baru mau belajar memasak beberapa bulan ke belakang setelah aku tinggal sendiri di sini—bersama Mimo.
Ngomong-ngomong, Mimo kelihatan begitu senang Jati ada di rumahku. Dia tak hentinya mengekori kaki Jati ke mana pun lelaki itu melangkah. Aku bisa mendengar dari lantai atas Jati yang beberapa kali mengusir halus Mimo yang menghalangi langkahnya, juga takut kucing itu tak sengaja terinjak bentuknya, atau terciprat minyak panas atau air panas.
Tapi saat aku baru akan menegur Mimo, dan mengangkutnya ke atas, aku mendengar Jati justru tertawa entah karena apa seraya berbicara dengan Mimo. Mungkin dia menertawakan kecerobohannya, mungkin dia menertawakan kebodohannya dalam membaca resep. Entah apa, aku tak tahu, dan tak berusaha untuk mencari tahu. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Rumah ini terasa begitu ramai dalam sekejap.
Kembali pada sayur sop buatan Jati Samudra, lelaki yang biasa memegang kayu, bukan pisau apalagi spatula. Dia menatapku sangat was-was saat aku memperhatikan hasil masakannya.
Kemudian aku mendongak untuk menatapnya. Wajahnya kelihatan lelah, padahal saat dia datang untuk mengucapkan ulang tahun tadi itu, wajahnya sangat segar dengan rambut yang ditata rapi. Kini rambut itu terlihat acak-acakan, dan titik-titik keringat muncul di pelipisnya.
Aku tersenyum, membuatnya menatap bingung. "Saya boleh foto kamu nggak?" tanyaku.
"Hah?" Dia terkejut.
Lalu aku mengambil ponsel, mengarahkan kamera padanya, memotret beberapa kali dengan cepat, tanpa menyuruh Jati untuk bergaya sedikit. Tak perlu, sebab aku hanya ingin menyimpan kelucuan itu saja. Wajah lelah yang agak frustrasi, yang dibalut dengan celemek kuning. Itu lucu. Aku butuh menyimpannya untuk mengembalikan semangat saat aku sendiri lelah bekerja.
"Kamu tadi udah cobain sayurnya?" tanyaku setelah selesai memotret dan kini beralih memegang sendok.
"Udah."
"Terus menurut kamu, gimana?"
"Enak," katanya, ragu tapi berusaha percaya diri.
Aku menyungging senyum tak yakin, membuatnya terkekeh. Lalu tanpa mengatakan apa pun lagi, aku menyendok sedikit kuah sayur sop tersebut, menyeruputnya, dan menelannya.
Jati menatapku dengan sangat awas, wajahnya begitu khawatir, juga takut. Dan begitu saja terbesar dalam benakku untuk berbuat jail padanya.
"Argh!" Aku membungkuk, memegangi perut, meringis seolah benar-benar merasakan sakit di sana, dan untuk membuatnya tambah dramatis, aku menjatuhkan sendok yang kupegang.