18. Dua Hal

468 87 10
                                    

Februari 2025

—Kalina Paramita

Dua piring makan malam sudah tersaji di atas meja, lengkap dengan telur ceplok dan tambahan sosis yang Jati sodorkan padaku saat aku sudah hampir selesai memasak telur, meminta agar sosis itu digoreng untuk tambahan menu makan mereka.

Jati menyodorkan saus sambal, saus tomat, dan juga kecap manis ke hadapanku. Dia bahkan menawarkan kerupuk udang yang memang tersedia di stoples di atas meja tersebut.

Jati meringis menatap piring kami berdua. "Mirip makanan anak kuliahan yang tinggalnya ngekost." Lalu terkekeh.

"Bedanya, anak kost menunya cuma satu. Kalau telur, ya telur aja. Kalau sosis, ya sosis aja. Kalau kerupuk .... Miris banget nggak sih makan nasi pakai kerupuk doang?"

Dia tertawa, begitu keras. "Tapi saya pernah. Untung ada saus, jadi nggak terlalu miris-miris amat."

"Kasihannya ...," balasku seraya terkekeh kecil. "Jadi, gimana telur buatan saya?"

Kalau dilihat hanya dari visualnya saja, telur buatan kami nggak jauh berbeda. Aku juga bukan penikmat telur yang dimasak satu sisi, alias tidak dibalik demi menjaga penampilan bagian atas telur tersebut agar bisa disebut sunny side up alih-alih telur ceplok.

Bedanya, telur ceplok buatan Jati waktu itu pinggirannya terlihat sedikit lebih kering dan lebih cokelat. Sedangkan dua telur ceplok buatanku saat ini, keduanya punya tingkat kematangan yang sempurna. Kami tidak akan membicarakan soal rasa, jadi jika dinilai sampai sana saja, aku layak menang.

Sayangnya, telur ceplok di piringku bagian kuningnya pecah ketika aku membaliknya, membuatnya terlihat menyedihkan. Aku bahkan mendapati Jati meringis ketika dia melihat telur ceplok tersebut.

"Oke, kamu menang," ucapku pada akhirnya ketika Jati tak kunjung mengatakan apa-apa. Lalu mengambil sendok dan mulai makan.

"Saya dapet apa sebagai hadiahnya?"

Aku kembali menatapnya, mengerutkan kening. "Aku rasa, kita nggak pernah bicarain soal hadiah."

"Ya udah, kita bicarain sekarang." Dia terdengar begitu serius. Sambil menuangkan kecap ke atas makanannya, Jati terlihat santai saat mengatakan hal itu. Aku benar-benar melupakan kekhawatiran yang aku rasakan beberapa hari ke belakang tentang kondisi perasaannya. Apa yang aku lihat saat ini benar-benar membuktikan bahwa Jati terlihat begitu baik. Amat baik.

Agaknya dia memang makhluk tak berperasaan.

"Emangnya kamu mau hadiah apa?" tanyaku pada akhirnya, sedikit pasrah, sedikit tak terima.

Dia bergumam panjang di tengah kunyahannya. "Eum ... belum kepikiran sih." Kemudian nyengir. "Nanti saya kasih tahu kalau udah kepikiran mau hadiah apa."

Aku meringis kecil menatapnya. "Kamu bikin saya takut."

"Takut kenapa?" Dia tertawa geli. "Tenang, saya nggak minta yang aneh-aneh kok. Nggak sampai minta dibeliin mobil baru juga."

Aku diam.

"Tapi mungkin tiket liburan ke Bali?" sambungnya, membuatku sontak membelalak mata, dan dia terbahak-bahak. "Bercanda, Kalina. Takut banget kayaknya saya minta yang mahal-mahal."

"Soalnya ini cuma ... telur ceplok." Aku nyengir hambar.

"Well, mungkin bukan sekadar telur ceplok biasa. Tapi spesial." Dia mengangkat bahu tak acuh.

Selanjutnya, kami hanya saling diam menikmati makanan kami masing-masing. Jati seperti berubah jadi orang lain yang tiba-tiba tubuhnya diliputi awan mendung, terlihat murung, bahkan setiap suapan nasinya terlihat seperti dia tak berselera untuk makan–aku nggak meyakini bahwa itu karena telur ceplokku, tapi ini lebih dari sekadar telur ceplok.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang