32. Terakhir Kali

608 69 9
                                    

Juli 2025

From: Kalina Paramita

Mas Aksel, ketika kita bercerai dulu, aku bertanya-tanya, apakah aku akan bisa jatuh cinta lagi? Apakah aku akan bertemu lagi dengan lelaki yang akan aku cintai? Apakah aku akan bertemu lagi dengan lelaki yang mencintai aku? Saat cintaku rasanya sudah habis di kamu, saat rasa bahagiaku rasanya hanya ada di kamu, dan saat rasa sakitku karena kamu.

Aku penasaran, Mas Aksel.

Bagiku, kamu itu jatuh dan cintanya aku.

Aku mencintai kamu, dan aku juga yang jatuh karena kamu.

Mas Aksel, pernikahan itu satu hal yang pernah aku gambarkan dengan begitu indah dan bahagia. Saat menikah dengan kamu, rasakan seperti dunia sedang berpihak padaku. Sampai akhirnya pernikahan itu terjadi, aku tak bisa lagi melihat gambar itu dengan pandangan seperti dulu.

Easanya begitu menakutkan, begituengerikan, begitu penuh trauma. Aku bahkan berpikir untuk tidak pernah menikah lagi setelah itu.

Apa aku jahat karena mengungkapan hal ini pada kamu, Mas Aksel?  Tentang rasa sakitku, tentang rasa traumaku, tentang rasa putus asaku.

Mas Aksel, kamu pasti tahu bagaimana aku setelah bercerai dengan kamu itu. Iya, kan? Aku nyaris gila—atau sejatinya, aku mungkin memang sudah gila. Jangankan untuk berlari, untuk jalan pun tertatih-tatih aku melakukannya. Penyangga hidupku seolah telah menghilang berbarengan dengan ajakan bercerai yang kamu lakukan, membuatku tak mampu untuk sekadar berdiri, tak mampu untuk sekadar membuka mata. Aku bahkan kesulitan untuk membedakan apakah ini siang atau malam.

Mas Aksel, kamu adalah orang yang membuatku percaya pada cinta sekaligus percaya ada rasa sakit. Kamu juga yang membuatku percaya bahwa aku juga pantas dicintai sekaligus pantas untuk disakiti. Kamu yang membawaku terbang ke angkasa sekaligus kamu yang menjatuhkanku ke daratan. 

Aku bingung, Mas Aksel, apakah aku harus berterima kasih padamu, atau aku harus menamparmu.

Tapi mungkin aku harus berterima kasih.

Di balik semua rasa sakit yang kamu berikan padaku, tersimpan segudang pelajaran yang membuatku hati–hati dalam menjatuhkan perasaan. Dan kamu tahu, Mas Aksel? Aku nggak mengerti kenapa sampai kita sudah bercerai pun kamu nggak pernah menatapku dengan tatapan jijik? Aku nggak mengerti tatapan cinta itu bagaimana, seperti yang kau pernah katakan padaku waktu itu. Tapi aku tak pernah mendapati kamu mengubah cara kamu menatapku bahkan setelah kita bercerai.

Kamu selalu menatapku lurus dan serius setiap kali aku berbicara. Sudut bibirmu selalu teringat setiap aku mulai mengeluarkan kata. Tawa kamu pernah jadi yang paling aku rindukan setiap aku ketemu bahan candaan yang kalian aku beritahu Angel, dia pasti tidak akan tertawa.

Mas Aksel, karena perceraian yang terjadi padaku, membuatku bingung sekaligus khawatir ketika Alda sudah memantapkan diri untuk menikah dengan kekasihnya, Liam. Rasa sakitku membuatku khawatir, takut dia merasakan hal yang dengan yang aku rasakan. Bahkan saat Papa alih-alih menggunakan pendapatnya ketika Liam datang untuk melamar Alda, Papa justru bertanya pendapatku, meminta restu ku lebih dulu. Saat itu aku ingin menolaknya. Bukan karena aku iri Alda bisa menikah sedangkan aku bercerai, tapi karena takut jika pada akhirnya pernikahan Alda akaan berakhir perceraian sepertiku juga.

Dan hari ini, tepat ketika acara pernikahan itu dimulai, aku yang sudah menurunkan ego dan menyimpan rasa traumaku sendiri sejak mengatakan bahwa aku merestui pernikahan Alda dan Liam, aku masih takut dan khawatir. Air mata bahagia yang Alda keluarkan saat para saksi berseru sah atas ijab kabul yang Liam gaungkan, membuat ku bukan lagi berharap Alda hidup bahagia dengan suaminya, tapi berharap Alda tidak pernah merasakan rasa sakit yang aku rasakan.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang