Juli 2025
—Jati Samudra
Saat seperti ini saya bingung dengan diri sendiri harus bagaimana dan harus merespons seperti apa ketika kini melihat perempuan yang saya cintai menangis di samping tubuh lelaki masa lalunya sembari memegang lengan lelaki itu begitu erat.
Saya bisa saja cemburu, karena saya ingin Kalina tidak menangis untuk lelaki mana pun lagi kecuali saya atau keluarganya. Tapi ini situasi yang berbeda, karena Aksel sakit, membuat saya tak bisa berbuat apa-apa selain diam di belakangnya.
Tentu, mendengar orang yang jatuh sakit membuat sedih, namun lagi-lagi ini situasi yang berbeda. Namun melihat Kalina bersedih untuk lelaki lain juga membuat saya gundah.
Begitu Angel cerita tentang Aksel, kami langsung pergi menuju rumah sakit yang Angel beritahu, meninggalkan Mimo kembali di sana. Dan ketika sampai di rumah sakit, ada orangtua Aksel yang menyambut dengan terkejut kedatangan Kalina di sana, mereka langsung memeluk Kalina, lalu menangis, membuat tangis Kalina juga akhirnya tumpah.
Kanker otak, katanya.
Sudah terjadi bertahun-tahun lalu, dan beberapa bulan belakangan semakin parah kondisinya. Mereka mengatakan bahwa selama ini Aksel hanya mengandalkan obat untuk bisa bertahan, tidak punya keinginan untuk terapi lanjutan seperti penderita kanker kebanyakan.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku, Mas?" tanya Kalina ketika akhirnya Aksel sadar dan mendapati Kalina sudah ada di sampingnya, bersama saya di belakang perempuan itu.
Ketika saya pertama kali bertemu dengan Aksel, saat dia datang untuk memesan beberapa barang keperluan untuk di toko rotinya, saya tak punya pikiran apa pun sampai kemudian semesta mengatur pertemuan kami dengan Kalina sekaligus. Tanpa perlu bertanya, tanpa perlu penjelasan, saya sudah bisa menebak bahwa mereka berdua punya hubungan di masa lalu, apalagi ketika Aksel menyebut dirinya sendiri sebagai Papi pada Mimo. Namun ketika itu saya tidak menyangka bahwa hubungan mereka sudah terjalin begitu dalam sampai ke pernikahan sebelum akhirnya memutuskan bercerai.
Saya tahu, perpisahan pasti punya alasan yang tidak baik. Karena kalau baik, suatu hubungan tidak akan terpisah, kan? Lagi-lagi saya tidak menyangka bahwa alasan perpisahan mereka karena sesuatu yang menurut saya sangat sepele. Bahwa Kalina tidak bisa memberi Aksel keturunan? Saya ingin sekali menonjok wajah lelaki itu ketika saya bertemu dengannya di toko roti saat membelikan roti untuk Kalina, tapi saya berusaha menahan diri.
Ketika itu sepertinya dia sudah bisa menebak hubungan kami dengan melihat roti-roti yang saya beli yang kebanyakan adalah roti kesukaan Kalina.
Dia berujar, "Saya seneng kalau Kalina ketemu orang yang baik."
Saya tersenyum kecil, sembari menerima kantong plastik berisi roti-roti yang saya beli, saya membalas, "Kalina emang udah harusnya cuma sama orang yang baik, yang nggak ninggalin dia di saat terpuruk."
Saya dapat melihat perubahan raut wajahnya yang drastis menjadi tegang ketika menatap saya, namun tak lama karena setelah itu dia sudah kembali menatap saya dengan ramah dengan senyuman. "Makasih udah datang."
Melihat kondisinya saat ini, mengetahui bahwa ternyata dia sudah lama menyimpan rahasia ini dari Kalina, istrinya sendiri saat itu. Saya meyakini bahwa mungkin alasan Aksel minta berpisah dengan Kalina ada hubungannya dengan kondisi kesehatannya. Dan ini kembali membuat saya resah tanpa sebab.
"Siapa yang ngasih tahu kamu, Kal?" Aksel balik bertanya.
"Apa itu penting aku tahu dari mana?"
Lelaki itu diam.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku?" Kalina kembali bertanya.
"Maaf …."
Iya, untuk sekarang, jika penjelasan itu sulit untuk dilakukan, maka maaf jadi satu-satunya jalan untuk berujar. Tapi Kalina jelas butuh lebih dari sekadar kata maaf. Saya yakin, banyak tanda tanya besar di kepalanya saat ini, yang mendesak meminta keluar, tapi berakhir hanya tetesan air mata yang membasahi pipinya. Dan saya sebal karena tak bisa mengusapnya saat ini.
