Juli 2020
From: Kalina Paramita
Jati Samudra, apa kamu penasaran kapan pertama kali aku tahu kalau Mas Aksel adalah seorang dosen dan bahkan kenal dengan Papa? Juga menjadi titik awal di mana perkenalan kami menjadi sesuatu yang tidak biasa, yang berubah menjadi kedekatan yang tak bisa untuk tidak dianggap apa-apa.
Hari itu, di musim kemarau. Kamu pasti merasakannya juga kan, Jati Samudra? Juli dan Agustus adalah puncak suhu panas di negara kita sedang tinggi-tingginya. Aku yang memang jarang keluar rumah semakin malas untuk sekadar menampakkan diri di halaman rumah karena sinar matahari yang menyakitkan kulit, bahkan di pagi hari. Dan Mama sudah mulai mengeluh karena tagihan listrik yang membengkak akibat penggunaan AC yang rasanya sulit untuk dihindari di cuaca seperti itu.
Tapi hari itu aku keluar rumah untuk menemui Angel di rumahnya yang sedang terbaring sakit. Angel punya rhinitis yang cukup parah. Dan polusi serta debu yang ada selama musim kemarau membuatnya menderita. Aku agak kasihan melihatnya terus batuk dan bersin yang membuat suaranya sampai serak. Tapi, Jati Samudra, di kondisi seperti itu pun, tidak menyurutkan semangat Angel untuk tetap berceloteh ria padaku tentang banyak hal.
Aku nggak tahu kamu aslinya bagaimana. Tapi bertemu kamu beberapa kali, membuatku setidaknya bisa menilai sedikit bahwa kamu mungkin orang yang cukup pendiam dan tidak terlalu mau tahu urusan orang. Kamu kayaknya nggak cocok berteman dengan Angel yang hobi bergosip.
"Kata Mama, lo nginep," Alda berujar saat melihatku masuk rumah dengan wajah lelah padahal seharian berada di rumah Angel, aku tak melakukan apa-apa selain menemani temanku itu mengobrol sembari menonton film.
"Nggak jadi. Angel maksa gue balik, takut ketularan katanya."
Alda duduk di ruang tengah, memakan sebuah keripik dari stoples yang dipeluknya, mengabaikanku yang berlalu melewatinya untuk naik ke lantai atas. "Kak," lalu dia tiba-tiba memanggil.
Jati Samudra, maaf, tapi aku agak sensitif kalau sedang lelah.
"Gue capek, mau mandi. Masih ada kerjaan yang harus gue selesain." Aku nggak tahu sih Alda akan berkata apa, tapi mendengar panggilannya yang agak berbisik, aku sudah bisa menebak dia akan mengatakan sesuatu yang memaksakan aku melakukan satu hal yang melelahkan.
"Lho, Kal, nggak jadi nginep?" Sayangnya, aku berhasil berbalik karena suara Mama yang terdengar.
"Nggak, soalnya-" Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena mataku sudah menangkap keberadaan seseorang yang membuat mataku melebar.
Dia bersama Mama dan Papa di ujung tangga, menatapku yang berada tiga anak tangga di atasnya.
Tentu saja, Jati Samudra, aku langsung bertanya-tanya, bagaimana lelaki yang selalu berpenampilan rapi ketika kami bertemu itu berada di rumahku.
"Mas Aksel?" Aku menyebut namanya. Dan dia tersenyum.
Kamu juga harus lihat saat wajah Papa dan Mama, bahkan Alda di belakang mereka berubah jadi bingung saat aku menyebut nama Mas Aksel tadi.