21. Batik

474 82 12
                                    

November 2023

From: Kalina Paramita

Jati Samudra, mencintai dan dicintai Mas Aksel adalah satu hal yang nggak akan pernah bisa aku lupakan. Aku sudah pernah bilang, kan? Saling mencintai itu kegiatan paling menyenangkan yang ada di dunia.

Tapi, Jati Samudra, aku rasa memang benar adanya, bahwa apa pun itu tetap ada batasannya. Mungkin itu yang dirasakan Mas Aksel beberapa bulan terakhir. Dan Mungkin itu karenaku. Aku nggak tahu kapan kiranya hal itu dimulai, tapi mungkin sejak hasil tes kehamilanku lagi-lagi memperlihatkan garis satu, tak ada tanda-tanda ada janin kecil yang tumbuh di perutku.

Jati Samudra, sebelum kami resmi menikah, aku dan Mas Aksel pernah membicarakan perihal ini. Kamu mungkin juga pernah membicarakannya dengan, Rissa. Iya, kan? Sebab aku rasa, hampir semua pasangan calon pengantin membicarakan hal ini.

Perihal anak.

Saat itu, setelah Mas Aksel secara resmi melamarku dengan membawa kedua orangtuanya untuk bertemu keluargaku, Mas Aksel jadi lebih berani untuk datang ke rumahku, bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi bertamu, berdiam lama di ruang tamu untuk meladeni ocehan Papa yang kadang membuatku sebal karena menyita waktuku bersama Mas Aksel, atau benar-benar hanya ingin mengobrol lama denganku secara langsung seperti yang biasa kami lakukan. Meski Mas Aksel tetap menaruh batasan ketat karena takut tiba-tiba Mama, Papa, atau Alda melihat.

Tapi hari itu, Jati Samudra, saat Mas Aksel datang dengan dalih membicarakan WO yang akan kami pakai untuk pernikahan kami, dia membiarkanku untuk berbaring di pahanya walau sebelumnya dia sempat panik ketakutan. Padahal, jika sedang berada di ruangannya di Ask Bread, dia dengan tangan terbuka menyambutku untuk duduk di pangkuannya.

"Kal …, nanti ada Papa."

Jati Samudra, aku senang sekali setiap Mas Aksel memanggil Papa-Mama untuk orangtuaku. Bukan Prof. Bima atau Tante lagi. Dan aku juga senang memanggil orangtua Mas Aksel dengan sebutan Mama dan Papa, bukan Om dan Tante lagi.

"Mas," aku memanggilnya, tak menghiraukan keresahannya pada posisi kami yang dianggapnya terlalu intim. "Kalau udah nikah, kamu mau punya anak berapa?"

Pertanyaan itu berhasil mengalihkannya, dia berhasil menunduk untuk menatapku dengan serius sebelum segaris senyum tipis terbit di bibirnya. "Eum … dua?"

"Dua anak lebih baik," sahutku yang membuat kami seketika tertawa.

"Emangnya kamu mau punya berapa?"

"Kalau aku, penginnya sih banyak. Biar ramai. Mungkin … empat atau lima?"

Jati Samudra, kamu harus lihat wajah terkejut Mas Aksel ketika aku mengatakan hal itu. Benar-benar lucu, tapi juga membuktikan bahwa dia memang sebegitu terkejutnya pada gagasanku perihal jumlah anak yang aku inginkan.

"Emangnya kamu sanggup ngelahirinnya? Aku sih enak tinggal bikin doang."

Aku mencubit lengannya. Dan dia terbahak.

"Tapi serius deh, kamu mau nggak kalau kita punya anak banyak?" tanyaku lagi.

Dia menatapku untuk waktu yang cukup lama sebelum menjawab dengan nada serius, "Kalau kamu sanggup, aku siap kok buat kerja lembur terus biar anak-anak kita minum susu mahal dan mainannya banyak. Juga sekolahnya di tempat yang bagus."

Anak-anak kita.

Jati Samudra, kamu harus tahu betapa terharunya aku ketika Mas Aksel mengucapkan kata-kata itu. Rasanya bahagia, membuatku berandai-andai lebih jauh tentang bagaimana rumah kami setelah satu per satu anggota keluarga baru hadir meramaikan suasana. Aku akan jadi seorang istri, jadi seorang ibu, jadi seorang perempuan yang sempurna.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang