4. Papi

549 95 12
                                    

November 2024

—Kalina Paramita

"Dia punya bengkel kayu, Kal. Coba deh datengin."

"Mau ngapain?" Saat itu aku merespons sewot pada Hendra yang punya ide cukup gila.

"Ya …, basa-basi aja. Lo minta dibikinin kursi atau apa gitu."

"Hen—"

"Coba aja, Kal," Angel memotong. "Bukannya lo waktu itu ngebet banget pengin deket. Ini kesempatan bagus, kan?"

"Ngel, lo lupa terakhir kali gue ketemu dia tuh ngapain? Dia ngasih surat undangan, Ngel. Surat undangannya masih gue simpen kalau lo mau tahu." Aku menempelkannya di salah satu halaman buku jurnalku.

"Tapi Hendra bilang, dia masih single. Iya, kan, Yang?" Angel menoleh pada Hendra.

Lelaki itu mengangguk.

"Tapi—"

"Lo nggak akan tahu dia beneran single atau nggak kalau lo nggak berusaha cari tahu sendiri. Empat tahun tuh pasti banyak yang terjadi. Lo juga ngalamin itu, kan, dalam empat tahun ini?"

Aku diam.

"Kalina, jangan ngulangin kesalahan yang pernah lo buat dulu waktu pertama kenal Jati. Jangan ragu, jangan takut. Emangnya salah kalau mau kenal buat sekadar jadi temen? Jadi tetangga yang baik. Nggak, kan? Siapa tahu …, kalaupun dia emang udah nikah, lo bisa bestie-an sama istrinya. Lo nggak mungkin sendirian aja di sana, kan? Lo harus punya temen buat sekadar nemenin lo ngopi cantik di kafe. Syukur-syukur … lo bisa nemu muse lo yang ilang itu."

Muse.

Iya, aku kehilangannya sejak setahun lalu. Membuatku tertatih untuk sekadar melangkah. Bukan hanya tentang kemampuan menggambar dan menyusun cerita yang susah, tapi juga tentang kehidupan yang semuanya seperti menyulitkan.

Satu tahun sepertinya waktu yang cukup untuk aku tertatih.

Angel benar, itu sebabnya sekarang aku di sini.

Berkat mengorek informasi secara halus dari Pak Komar ketika bertemu kemarin, aku mendapat alamat pasti bengkel kayu milik Jati yang saat ini aku datangi.

Kenapa aku di sini?

Untuk apa?

Tidak tahu.

Mungkin ingin bertemu.

Mungkin ingin mengajaknya mengobrol.

Atau … rasa penasaran yang pada akhirnya mendorongku bergerak membelokkan mobil ke sebuah tempat dengan pijakan yang hampir seluruhnya ditutupi kerikil kecil.

Pahat Djati.

Itu nama bengkelnya. Ada plang kecil di samping gerbang masuk yang sudah agak berkarat.

Begitu aku masuk ke bengkel tersebut, suara-suara mesin pemotong kayu, dan segala mesin lainnya langsung terdengar, membuat Mimo yang semula meringkuk tidur di kursi penumpang samping langsung terperanjat dan berdiri untuk menatap ke sekitar.

Tentu, aku nggak bisa meninggalkan Mimo di rumah sendirian. Jadi, aku memutuskan untuk membawanya.

Begitu mobil terparkir, aku termenung sejenak. Memikirkan apakah betul aku datang ke tempat ini untuk alasan yang aku buat-buat. Minta dibuatkan kursi untuk di balkon? Padahal, aku tinggal menarik salah satu kursi di kamarku untuk duduk dipakai duduk di balkon dan mengembalikannya lagi ke dalam jika sudah selesai. Tapi jika tidak begitu, aku tidak punya alasan untuk datang ke tempat ini, kan?

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang