Juli 2020
From: Jati Samudra
Rissa, ada satu momen yang nggak bisa aku lupain di akhir bulan di musim kemarau itu. Aku tahu kita udah ngelewatin banyak hal, terlalu banyak bahkan. Aku kenal kamu dari masa remaja sampai sekarang usia kita sama-sama mau menyentuh angka tiga puluh, kamu juga begitu. Bukankah kita luar biasa?
Aku kenal kamu dari seorang bendahara kelas jutek yang suka ngomel-ngomel kalau lagi nagih uang kas, sampai sekarang aku jadi samsak omelan kamu kalau lagi kesal sama si bos.
Meski aku sudah banyak mengenal kamu, terlalu banyak yang kita lewati sama-sama, rasanya aku belum puas, aku jadi ingin serakah, dan hal itu bikin aku agaknya bertindak terlalu gagabah. Iya, kan, Rissa?
Hari itu, setelah menjalani satu siang penuh di kantor yang rasanya menyesakkan di musim kemarau yang panas, aku mengajak kamu berkencan—mungkin agak memaksa karena sebelumnya kamu menolak karena lelah. Tapi, Rissa, aku sudah bilang, aku sedang bertindak serakah.
Setelah puas membuat kamu kekenyangan dengan jajan street food yang membuat kamu seketika tersenyum cerah meski setelahnya kamu mengeluh perkara diet yang sedang kamu jalani itu—yang aku rasa, nggak tahu kapan berakhir dan mulainya—aku mengajak kamu berkendara, berkeliling di jalanan yang sebenarnya masih padat, tapi cukup asik dilakukan dengan membuka kedua jendela mobil lebar-lebar.
"Kita mau ke mana?" Kamu menoleh, menatapku dengan raut bingung setelah menyedot es kopi milikku. "Nonton? Tapi aku males kalau nonton."
"Jalan-jalan aja, ngabisin bensin. Nanti kalau kamu udah laper lagi, kita mampir tempat makan."
Kamu tahu nggak, Rissa? Ketika kamu cemberut setelah aku mengatakan hal itu, aku pengin menerimanya mobil, lalu mencium kamu kuat-kuat. Nggak peduli sedang di mana, nggak peduli orang akan menatap aneh, aku hanya peduli soal perasaanku yang semakin meluap setiap detiknya.
Aku tahu, Rissa, mungkin terdengar hiperbola, tapi serius, bersama kamu, aku selalu ngerasa bahagia. Bertahun-tahun kenal kamu, beberapa kali aku melabuhkan hati ke perempuan lain, berkali-kali aku melihat kamu bersama lelaki lain, aku merasa ini adalah takdir terbaik untuk kita. Iya, kan, Rissa.
Dan sepertinya aku salah.
Keserakahanku membuatku salah membaca kode yang dikirim semesta perihal takdir kita. Takdirku. Takdir kamu.
"Bapak, gimana? Udah dapet tempat baru buat bengkel?"
Aku menoleh sekilas. "Belum. Masih cari-cari tempat. Bapak lagi nanya-nanya kenalannya yang kemungkinan punya lahan kosong. Cuma kayaknya nggak gampang nyari tanah kosong daerah sini. Sekalinya ada … harganya bikin geleng kepala."
Aku suka waktu kamu terkekeh. Aku suka waktu kamu memperlihatkan kepedulian kamu terhadap keluargaku. Aku suka waktu kamu kelihatan akrab dengan keluargaku.
"Emangnya penggusurannya kapan?"
"Masih tahun depan, sih. Cuma kan lebih cepat lebih baik. Bapak maunya begitu uang dari pihak sana udah cair, mau langsung pindah ke tempat baru, biar adaptasinya juga cepet."
Kamu mengangguk. "Terus pelanggan-pelanggan, gimana?"
"Bapak udah mulai ngasih info, sih. Sama supplier kayunya juga udah ngasih info kalau kami mau pindah tempat."
"Jadi harus mulai dari awal lagi, deh." Desahan kamu bikin aku gemas buat nggak mencubit pipi kamu, dan kamu meringis karenanya.
"Nggak apa-apa. Lagian kita bisa apa kalau udah orang kayak mereka turun tangan? Yang kasihan justru rumah-rumah di sekitar bengkel. Kompensasi yang dikasih sama rata sesuai jumlah kepimilikan tanah, nggak peduli ada bangunan di atasnya atau nggak. Jadi mereka yang rumahnya udah berdiri bagus gitu, agak mikir otak buat cari tempat tinggal baru."