12. Congratulations

499 96 44
                                    

Januari 2025

—Jati Samudra

Ketika saya mendengar namanya yang datang mencari saya, nggak yang bisa saya pikirkan selain, "Ah …, sudah waktunya, ya."

Pikiran saya untuk sejenak kosong, bahkan mata saya yang menatap Hana di ambang pintu saat memberi informasi itu pun membuat tatapan saya kosong. Sampai tak ada yang bisa saya lakukan selain meminta Hana untuk menyuruh Rissa pulang. Empat tahun berlalu, saya masih belum jadi sekuat itu untuk bertemu dengan perempuan yang nyaris saya nikahi.

Meski Hana tak mengatakan apa alasan Rissa mencari saya, tapi saya tahu untuk apa kedatangannya hari ini. Dan saya merasa tidak yakin sanggup untuk mendengarnya langsung dari Rissa.

Saya tidak pernah membenci Rissa. Tidak pernah bisa. Entah bagaimana, tapi membayangkan apa yang terjadi selama setahun kami berpacaran, dan bertahun-tahun kami menjadi teman, tidak bisa dengan mudah membuat saya benci pada perempuan itu meski hidup saya seolah hancur karenanya. Mungkin saya terlalu baik, terlalu mudah menerima kenyataan, atau mungkin saya sebenarnya sudah mati rasa, tak bisa membedakan apakah saya marah padanya atau justru kasihan sampai tak bisa membencinya.

Butuh waktu beberapa detik setelah Hana pergi untuk menyampaikan pesan saya pada Rissa untuk saya kembali pada kenyataan, bersama Kalina di ruangan ini dan Mimo di pangkuan saya.

Saya berusaha menebak, apa yang kiranya Kalina pikirkan saat ini mengenai saya, mengenai situasi yang terjadi, mengenai hubungan yang pernah dia tanyakan beberapa waktu lalu. Saya menoleh ke arahnya, menatapnya yang sedang tertunduk memainkan ujung sweater yang dipakainya.

"Tadi kamu mau ngomong apa?" tanya saya, memecah keheningan, berusaha untuk kembali biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.

Dia ikut menoleh, mata sayunya menatap saya. "Eum …." Dari gumamannya saya tahu dia masih berusaha mencerna keadaan, masih berusaha menarik diri pada situasi yang seketika membuat canggung. Saya merasa bersalah.

"Mau titip Mimo?" tebak saya.

Matanya langsung melebar, dan saya terkekeh. "Kok tahu?"

Lalu saya menunjuk pet cargo yang dibawanya. "Biasanya kamu nggak pernah bawa itu kalau pergi sama Mimo. Ngebiarin Mimo bebas di dalem mobil kamu dan kamu gendong dia kalau keluar."

Dia mengerjap, matanya berkedip dengan lucu.

"Ya …, waktu kita beli nasi uduk sama Mbak April itu kamu bawa Mimo pakai pet cargo sih, tapi kan itu agak terpaksa. Kalau nggak, kamu pasti lebih milih biarin Mimo bebas, kan?"

Kalina kelihatan masih tak percaya dengan penuturan saya yang agaknya benar.

"Kamu mau ke mana?" tanya saya.

"Tadinya mau ke supermarket, banyak keperluan yang udah habis. Terus makanan Mimo juga udah tinggal sedikit, jadi sekalian beli. Tapi kayaknya nggak jadi deh."

"Kenapa?" Kening saya berkerut.

"Besok aja nggak apa-apa. Sekarang saya langsung pulang aja." Dia berdiri, bersiap pergi.

Saya mendesah. Ini pasti karena kejadian tadi. Dia tidak enak untuk meminta tolong setelah apa yang tadi didengarnya. "Besok atau lusa, bukannya tetep sama? Mimo bakal dititipin ke saya, kan?"

Lalu dia diam.

"Ke Pak Komar atau Bu Susi? Setahu saya, salah satu anaknya mereka punya alergi bulu binatang, jadi nggak bisa deket-deket sama Mimo." Kecuali Kalina mau menitipkan Mimo ke Aksel, itu bisa saja terjadi dan saya tidak bisa membantah. "Atau kamu mau titip ke …." Saya enggan melanjutkan, dia juga pasti tahu siapa yang saya maksud.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang