Februari 2025
—Jati Samudra
Mbak Sofi yang usianya dua tahun di atas saya menikah ketika usianya 29 tahun. Kata orang, usia yang cukup tua bagi perempuan untuk menikah. Ditambah, Mbak Sofi semasa lajangnya sangat gila bekerja, mementingkan keriernya yang harus nomor satu, membuat sindiran demi sindiran dari orang-orang sekitar menghunusnya hari demi hari.
Apa Mbak Sofi peduli?
Tidak.
Mbak Sofi justru jadi orang yang paling bahagia ketika mendapat cemooh tetangga tentang kehidupannya yang lebih mementingkan karier daripada asmaranya. Waktu saya tanya kenapa, dia menjawab, "Ngapain gue harus pusing mikirin omongan orang yang anaknya aja tuh ngemis-ngemis ke gue pinjem duit buat beli susu anaknya? Rekening gue jauh lebih tebel daripada anak mereka yang dibanggain karena udah nikah."
"Lagian, gue bukan nggak mau nikah. Tapi belum mau aja. Gue sadar kok, perempuan kalau udah nikah bakal susah buat keluar. Boro-boro buat kerja yang ngabisin waktu seharian, ke salon bentar buat potong rambut aja udah susah. Gue harus urus suami, belum lagi kalau udah ada anak. Makanya, gue mau nikmatin masa-masa begini yang nanti bakal gue kangenin. Soalnya gue nggak mau jadi perempuan yang menyesali masa emas gue karena nikah cepet. Gue maunya setelah nikah, gue menikmati masa nikah gue karena udah bosen hidup sendiri.
"Beda cerita kalau gue nikah sama anak konglomerat yang hartanya nggak habis tujuh turunan tujuh tanyakan, ya. Itu sih nikah sekarang juga gue mau. Habis nikah, gue nggak perlu pusing mikirin kerjaan rumah, karena ada ART yang siap ngurusin itu semua. Nggak usah pusing mikirin urusan popok sama ngasih makan anak, karena gue bakal sewa suster. Gue jadi kebagian quality time bareng suami sama anak gue aja, alias kebagian enaknya aja."
Saat itu Mbak Sofi menggambarkan pernikahan sebagai sesuatu yang mengerikan. Entah untuk perempuan atau laki-laki, Mbak Sofi seakan memberitahu saya pernikahan bukan hanya sekadar kehidupan final dari dua orang yang saling mencintai, namun awal dari segalanya, tentang kehidupan yang nggak pernah terbayangkan oleh siapa pun. Salah memilih pasangan hidup akan membuat kehidupan seseorang sampai akhir menderita.
Tapi tahu apa?
Setelah menikah, Mbak Sofi jadi sosok yang begitu berbeda. Orang yang mengatakan pada saya bahwa pernikahan bukan sesuatu yang mudah dan menyenangkan justru jadi seseorang yang paling terlihat bahagia di kehidupan barunya. Hal itu membuktikan, bahwa dia tidak salah memilih pasangan hidupnya.
Saya juga sangat yakin begitu ketika saya melamar Rissa dulu. Bahwa Rissa pasti adalah orang yang tepat untuk kehidupan saya sampai akhir. Tapi sebelum dibuktikan apakah keyakinan saya benar atau tidak, semesta membuat garis takdir lain dengan membuat Rissa meninggalkan saya.
Mungkin itu sebuah keberuntungan yang patut saya syukuri, meski kehidupan saya dipertahankan setelahnya.
Sampai satu tahun berlalu, hari di mana Rissa menghubungi saya untuk pertama kalinya setelah batalnya pernikahan kami hanya untuk memberitahu pada saya bahwa dia menjalin hubungan dengan Dio, saya berkata begini pada Mbak Sofi, "Gimana kalau gue nggak usah nikah aja?"