Juli 2025
—Kalina Paramita
Aku terbangun ketika mendengar suara orang berbicara, sedikit terusik, meski tidak sepenuhnya karena memang sudah waktunya bangun, hari sudah pagi dan aku tidur dengan nyenyak, dengan perasaan bahagia, juga gembira. Walau tak dipungkiri, kaki dan badanku rasanya masih sakit akibat resepsi pernikahan Adel kemarin.
Saat aku membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah punggung Jati. Dia sedang duduk di pinggir tempat tidur yang menghadap ke arah jendela, sedang berbicara dengan teleponnya. Gerakanku saat bangun agaknya mencuri perhatiannya karena setelah itu dia menoleh dan tersenyum padaku, namun tak beranjak karena masih terlihat begitu serius berbicara dengan orang yang aku tebak adalah Hana.
Aku bergerak mendekat, duduk persis di belakangnya sebelum mencondongkan tubuh untuk merapat sampai melingkarkan kedua tangan di perutnya.
Kulit tubuh Jati rasanya hangat, menempel di pipiku yang masih ingin tidur lagi.
"Saya mungkin baru bisa pulang besok atau lusa," ujar Jati pada si penelepon. Suaranya berdengung lucu di telingaku yang menempel di punggungnya, membuatku terkikik. "Nanti saya kabarin kalau saya pulang," lanjutnya. "Saya titip bengkel sama kamu, laporan aja terus sama saya biar saya bisa bantu dari sini. Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya."
Setelah itu ponsel diturunkan dari telinga. Tangannya bergerak mengusap tanganku di depan perutnya. Tak berniat untuk mengubah posisi untuk beberapa saat.
"Tadi adik kamu ke sini."
Dan ucapan itu berhasil membuatku duduk dengan tegak dan seketika menegang. Melepaskan pelukanku dan membuat Jati akhirnya berpindah duduk di sampingku.
"Dia bilang, mobil dia bawa pulang, terus ngingetin jangan lupa check out sebelum jam sebelas, atau … nambah hari."
Aku tak membalas, buru-buru turun dari kasur untuk mencari ponsel dan menelepon Alda yang tak perlu menunggu waktu lama untuk perempuan itu mengangkatnya.
"Busetttt!!! Yang nikah siapa, yang kawin siapa," sindirnya dengan nada keras.
Aku meringis. "Lo … di mana?" tanyaku.
"Gue di rumah tantenya Liam, keluarganya ngajak sarapan bareng."
"Oh …."
"Ah, oh, ah, oh …," omelnya. "Lo harus tahu jantung gue mau copot waktu gue ke sana dan yang bukain pintu cowok lo, sedangkan lo masih ngorok."
"Sorry …."
"Udah ngasih tahu kalau mobil gue bawa?"
Aku melirik ke arah Jati yang sedang sibuk membuat teh. "Udah."
"Ya udah, lo minta anterin dia pulang."
"Gue mau ambil Mimo dulu."
"Ya, terserah. Pokoknya check out sebelum jam sebelas! Dan kalau bisa, jangan nambah hari!"
"Tapi tadi Mas Jati bilang—"
"LO PIKIR GUE SERIUS?" suara Alda di ujung sana melengking memekakan telingaku, sampai aku harus menjauhkan ponsel karenanya.
Jati terkikik di tempatnya.
"Pokoknya langsung pulang habis ambil Mimo," katanya lagi.
"Alda," aku memanggil, paham akan kekhawatirannnya. Sembari menatap Jati yang sedang menatapku juga, aku berujar, "Dia baik. Dia mau menerima gue. Dan dia …, dia sayang sama gue."