Oktober 2025
—Jati Samudra
Saya sudah pernah melewati yang seperti ini sebelumnya, jadi saya merasa tidak perlu mengkhawatirkan apa pun ketika saya dipaksa untuk merasakannya lagi saat ini. Tapi pada kenyataannya, kehampaan tetap kehampaan, rasa sakit tetap rasa sakit, tak bisa saya cegah kehadirannya. Betapa saya hampa tak ada Kalina dalam hidup saya saat ini. Betapa saya tersakiti mengetahui kisah cinta saya berakhir kembali tak menyenangkan.
Dan betapa saya terlalu merindukannya saat ini.
Sangat.
Amat.
Lebih gilanya, saya tak punya cara apa pun untuk membunuh rasa rindu itu selain dengan memandangi fotonya terus-menerus.
Hana bilang, saya seperti kehilangan selera untuk hidup. Banyak pekerjaan bengkel yang acak-acakan karena saya memaksa diri sendiri untuk terus sibuk padahal membuat diri sendiri fokus saja begitu sulit. Dan mereka, para karyawan bengkel, tak bisa memprotes soal itu apalagi memarahi saya sebagai atasan mereka, yang paling berani hanya Hana. Perempuan itu akan menarik saya keluar dari ruang pengamplasan, dari tempat pemotongan, tempat pengecatan, dari segala hal yang ada di bengkel untuk kembali masuk ke ruangan saya sendiri dan tidur saja, dia akan memanggil kalau benar-benar butuh.
Hana tidak pernah bertanya, tapi saya yakin dia paham apa yang terjadi pada saya. Setelah saya kembali dari menemui Kalina hari itu, sejak saat itu Hana tak pernah lagi menyinggung soal Kalina di depan saya. Mungkin wajah murung dan aura kesedihan yang saya pancarkan terlalu kuat untuk dia mengerti.
Namun saya tahu, di balik itu, beberapa karyawan membicarakan tentang saya dan Kalina. Tentang pacar saya, kata mereka, si pemilik kucing abu-abu yang tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya mampir ke bengkel, padahal waktu itu cukup sering. Saya tak marah, tak juga menyalahkan mereka, toh memang wajar mereka bertanya-tanya hingga akhirnya membuat kesimpulan sendiri. Saya tak bisa mencegah hal itu juga.
Dan, ya, Kalina memang tak pernah lagi ke bengkel sejak beberapa bulan terakhir. Ini Oktober, dan kalau saya tak salah ingat, Kalina datang ke bengkel terakhir kali bulan Juli sebelum dia pergi untuk acara pernikahan adiknya, setelah itu tak pernah kembali. Benar-benar tak pernah, bahkan ke rumahnya sekalipun.
Beberapa bulan terlewati, rumah itu selalu terlihat kosong dan hampa. Pak Komar atau Bu Susi seminggu sekali rutin membersihkan bagian depannya. Ketika saya tanya kenapa nggak sekalian yang dalam, mereka menjawab bahwa barang-barang pribadi Kalina di dalam masih banyak, dan mereka memang disuruh hanya membersihkan bagian luarnya saja dari debu dan sampah dedaunan yang menumpuk. Jawaban itu seperti sepercik harapan untuk saya bahwa mungkin Kalina niat kembali, suatu saat pasti akan kembali, memberikan kalimat menyenangkan untuk saya.
Tapi minggu lalu ketika saya mengambil laundry di Bu Susi, beliau mengatakan, "Kemarin adiknya Mbak Kalina ke sini lho, Mas, sama suaminya. Ketemu nggak?"
"Ke sini? Ngapain?"
"Maksudnya ke rumahnya." Bu Susi nyengir. "Saya bantu bersihin. Baru ditinggal beberapa bulan debunya udah tebel banget."
"Ngambil barang-barang, Bu?"
"Ngambil itu lho komputernya Mbak Kalina sama baju-baju dikit. Masih banyak yang ditinggal, mau ke sini lagi kayaknya."
"Kayaknya?" saya mengerutkan kening.
"Iya, waktu saya nanya kenapa Mbak Kalina nggak ikut, Mbak Alda jawab, lagi ada kerjaan katanya. Terus pas saya tanya lagi apa mau ke sini lagi, dia jawab, nggak tahu sambil nyengir gitu."
Itu mungkin harapan, namun dengan diambilnya komputer serta alat gambar Kalina, kemungkinan itu jadi semakin kecil. Kalaupun memang akan kembali, mungkin akan memakan waktu yang lebih lama, karena saya yakin, Kalina akan menyelesaikan masa hiatusnya sebab penggemar dan pembaca komiknya sudah berisik meminta Kalina segera melanjutkan komiknya yang tertunda, mereka tak tahu duka apa yang sedang Kalina rasakan. Itu juga sebabnya mengapa Kalina meminta Alda mengambil komputer dan alat gambarnya ke sini. Kalina pernah mengatakan bahwa dia tidak betah menggambar di tablet kecil hanya berukuran 10 inci itu.