Desember 2024
—Kalina Paramita
Aku tahu ini salahku. Ketika aku menekan diri sendiri untuk berusaha kembali ke rutinitas bekerjaku, demi melanjutkan komikku yang terbengkalai hampir dua bulan, aku tahu kalau aku akan tumbang.
Aku kehilangan muse. Itu fakta. Dan aku menyadarinya.
Pertemuanku dengan Mas Aksel hari itu membuatku sadar bahwa sesuatu yang sudah pergi dan hilang tidak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama. Kebersamaan kami selama tiga tahun dengan menjadikan Mas Aksel adalah sumber dari segala sumber inspirasiku menggambar dan menyusun cerita, tidak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama sekalipun aku memaksa.
Mas Aksel sudah pergi, dan aku harus menerimanya. Aku kehilangan muse, aku bukan hanya butuh menyadari hal itu, tapi juga butuh menerimanya dengan berusaha mencari yang baru.
Aku suka menggambar. Sejak kecil Papa dan Mama mendukung hal itu, sampai sekarang aku menjadikan gambar sebagai sumber keuangan utama. Menyadari bahwa dalam satu tahun terakhir aku tertatih melakukan sesuatu yang padahal aku suka, itu sangat memuakkan. Bagaimana dulu aku bisa hanya sehari membuat satu episode cerita komik online-ku, tapi kini butuh waktu belasan hari untuk bisa menyelesaikannya, itu benar-benar menyebalkan.
Dan segalanya membuatku tambah menyedihkan adalah fakta bahwa itu semua karena hati yang patah.
"Inget satu hal kalau lo mau berhenti, lo nggak akan punya duit." Kalimat Alda beberapa waktu lalu berhasil menamparku.
Aku punya banyak judul komik online yang sudah rampung, yang masih menghasilkan uang. Aku juga punya beberapa judul komik yang berhasil terbit dalam bentuk fisik, yang juga masih menghasilkan uang selagi masih ada yang membeli bukunya. Aku pernah bekerjasama dengan satu penulis novel terkenal untuk membuat satu novel grafis yang jadi mega best seller dua tahun lalu, yang tentu saja masih bisa menghasilkan uang karena sampai sekarang buku itu masih laris di pasaran.
Tapi ini bukan cuma perkara uang. Melainkan tentang kehilangan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya begitu aku suka. Bayangkan jika seseorang yang dulu suka membaca buku tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk sekadar mengenal huruf. Itu memuakkan.
Dua minggu terakhir aku berusaha mengembalikan itu semua dengan mencoba membaca banyak buku, menonton film atau serial televisi, menonton video acak di media sosial, membaca kutipan lucu di media sosial, dan tentu saja mencoba menggambar apa pun, baik menggunakan tablet gambar atau secara acak di sebuah buku.
Semuanya aku coba lakukan sampai membuatku lupa makan, tidur larut, selalu telat memberi makan Mimo, membuang kotorannya, tidak mengajaknya main. Aku menekan diriku sendiri sampai lupa bahwa aku juga punya batasan yang jika aku lewati, aku akan tumbang.
Sialnya, di antara sekian banyak hari, kenapa aku harus pingsan di saat Jati datang ke rumahku? Dan di antara sekian banyak waktu, kenapa aku harus muntah ketika Jati sedang bersamaku?
Iya, aku bukan cuma pingsan di hadapannya, tapi juga muntah.
Jati bukan hanya menggendongku ke lantai dua untuk membaringkanku di kasur, tapi juga menepuk-tepuk punggungku ketika aku mengeluarkan isi dalam perut yang hanya cairan itu di dalam kloset.
Apa aku tidak pernah terlihat baik di hadapan Jati? Bahkan sejak kami bertemu lima tahun lalu?
Aku mengerjap, menatapnya dalam diam, berusaha menelan rasa maluku mentah-mentah ketika dia dengan tenang menyajikan semangkuk bubur ayam yang dibelinya entah di mana beberapa saat lalu.
"Makasih," ucapku dengan suara yang begitu lemah. Jujur, aku sudah di tahap tidak peduli akan penampilanku di hadapannya sejak dia menyaksikan sendiri bagaimana aku muntah tadi. Aku pucat, bibirku kering, kelopak mataku menggelap, mataku merah, rambutku yang digulung ini kelihatan begitu lepek dan pasti bau, juga piyama kuning. Kalau bukan karena kemanusiaan dan rasa kasihan, Jati mungkin sudah terang-terangan bergidik jijik padaku.