25. Kasihan

505 87 8
                                    

April 2025

—Kalina Paramita

Ada banyak yang terjadi April ini, bahkan sejak awal.

Pertama, di awal April aku pulang ke rumah, bukan untuk sekadar bertemu kedua orangtuaku, atau Alda, atau Angel yang meski dia bukan keluargaku, aku akan tetap menganggapnya keluarga yang harus rajin aku kunjungi. Bukan juga karena urusan pekerjaan, meski setelahnya aku sekalian mengurus pekerjaan yang memang lebih enak dilakukan dengan bertemu daripada sekadar melakukan panggilan video.

Kali ini aku datang karena acara penting dan cukup sakral; pertemuan dua keluarga calon pengantin dalam tujuan melamar. Bukan aku, tapi Alda. Kekasihnya yang sudah dipacari bertahun-tahun itu datang ke rumah bersama keluarganya, bertemu keluargaku untuk bermaksud meminang Alda, adikku.

Aku senang, tentu saja. Tak ada alasan mengapa aku harus sedih bahkan marah karena adikku menikah, hanya karena aku pernah menikah dan gagal dalam pernikahan, bukan berarti aku tak ingin orang terdekatku bahagia dengan pernikahannya. Sebahagia aku melihat Angel menikah dengan Hendra.

Dengan balutan kebaya sederhana yang rasanya terlalu ketat di tubuhku—aku tak tahu Alda memesankannya dengan ukuran yang salah atau karena badanku yang membesar karena angka timbangan yang naik. Juga dengan kain batik yang pada akhirnya tak aku pakai karena rasanya aku kesulitan berjalan hingga akhirnya memilih memakai rok biasa yang lebih nyaman, karena harus juga mengurus Mimo yang menjadi asing dengan keadaan rumah jadi lebih banyak bertingkah dengan mengendus semua sudut tempat dan bahkan menjatuhkan apa pun yang ada di depannya.

Aki menunduk dalam-dalam, menyimpan tangisanku saat orangtua Liam secara sopan mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah. Aku tak bermaksud untuk merusaknya, tapi pikiranku secara tak sopan justru berkelana pada hati di mana orangtua Mas Aksel melakukan hal yang sama pada orangtuaku. Rasanya berdebar, bukan karena takut Papa tak menerima lamaran Mas Aksel, tapi karena rasa bahagia itu seolah menyobek ujung puncaknya, saking melampaui batas rasanya.

"Gimana, Kal?" saat itu Papa bertanya padaku. "Kamu mau nikah sama Aksel?"

Dan aku mengangguk dengan malu-malu.

"Gimana, Kal?" Papa bertanya lagi. Kali ini bukan karena Mas Aksel, tapi karena Liam.

Aku menoleh bingung, menatap semua orang di sana.

"Kamu izinkan Alda menikah sama Liam?"

Saat itu aku bingung, kenapa bertanya padaku padahal izin penuh harusnya diberikan oleh kedua orangtua, seperti yang dulu dilakukan Papa dan Mama pada Mas Aksel. Sampai akhirnya aku paham, ini mungkin bentuk dari yang namanya meminta izin untuk melangkahi.

Padahal kenapa harus? Sedangkan Alda tidak sepenuhnya mendahuluiku dalam menikah. Meski akhirnya bercerai, aku sudah pernah menikah. Dan agaknya aku merasa izinku tak perlu mereka dapatkan.

Tapi sayangnya, naluri dan perasaan campur adukku hari itu mengalahkan segalanya. Alih-alih langsung mengiyakan agar semuanya cepat beres, aku justru melempar pertanyaan pada Liam.

"Kalau Alda sakit, apa kamu mau merawatnya dengan baik?" tanyaku.

Liam dengan wajah tegang sejak pertama kali masuk ke rumah bertemu dengan Papa dan Mama—meski itu bukan yang pertama kali, mengangguk patuh. "Iya, Kak," katanya.

"Kalau Alda nggak bisa memberimu keturunan, apa kamu bakal menceraikannya?"

Pertanyaan itu sontak membuat suasana menegang seketika. Papa, Mama, atau Alda sekalipun nggak pernah benar-benar bertanya mengapa aku bisa bercerai dengan Mas Aksel dulu. Mama menyambut kedatanganku di rumah setelah aku dengan berat hati mengikuti kemauan Mas Aksel untuk berpisah dengan tangis kesedihan yang mendalam. Mama menangis seraya memelukku. Saat itu aku tak bisa mengatakan apa pun selain paham bahwa Mas Aksel memang sudah datang sebelumnya ke rumah, untuk menjelaskan perihal perpisahan kami.

RAIVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang