Juni 2025
—Jati Samudra
"Udah selesai gambarnya? Saya baru lihat update-an yang episode kemarin. Udah mulai tegang, jadi bisa kasih saya spoiler?"
Di ujung telepon sana Kalina terkekeh candu. Suaranya menggelitik telinga saya dengan halus. "Baru selesai gambar, ini baru mau bersihin muka, terus tidur," jawabnya. "Kalau saya kasih spoiler, nanti kamu nggak baca, saya nggak dapat uang."
Lalu saya pun tertawa. "Jadi, selain karena nggak mau jalan ceritanya bocor, juga karena takut nggak dapat cuan dari koin yang dibayar pembaca?"
"Nah, itu."
Kami berdua tertawa.
"Mas," panggilnya.
Ah …, saya suka bagaimana Kalina memanggil saya dengan sebutan 'mas'. Saya tahu, itu panggilan biasa. Ibu juga kadang panggil saya 'mas', dan Kalina tidak memanggil 'mas' hanya dengan saya. Namun rasanya, tetap berbeda. Seperti bumbu yang diberikan pada masakan yang hambar, seperti sebuah gambar yang diberi warna, seperti potongan kayu yang diamplas, seperti sebuah perasaan yang diselimuti kehangatan. Saya suka. Apa saya aneh karena menyukai hal sepele?
"Kapan pulang? Mimo kayaknya kangen sama kamu," sambungnya.
Sudah lima hari ini memang saya pulang ke rumah Ibu. Pertama, karena Mbak Sofi mengabari kalau Ibu sedang kurang sehat, jadi saya diminta pulang. Kedua, setelah tiga hari saya di rumah dan keadaan Ibu sudah jauh lebih baik, Mbak Sofi mendadak meminta saya untuk tinggal lebih lama karena dia harus pergi bersama suami dan anaknya ke rumah mertua, adik iparnya sedang mengadakan syukuran kehamilan. Kemungkinan besok atau lusa baru pulang, Mbak Sofi tidak menjawab dengan jelas, sebab kemungkinan besar dia tahu kenapa saya bertanya seperti itu, seolah mendesaknya agar cepat kembali dan saya bisa pulang ke tempat tinggal saya sendiri.
Saya bukan tidak ingin menemani Ibu di rumah, tapi saya juga punya pekerjaan yang harus saya pantau secara langsung oleh mata kepala saya sendiri. Bukan seperti pekerjaan kantoran yang bisa dicek hasil kerjanya melalui layar laptop atau ponsel semata. Ya, walaupun Hana setiap hari selalu mengirimkan laporan harian dan selalu menghubungi saya setiap terjadi masalah, pekerjaan saya tetap tidak bisa dipantau dari jarak jauh lebih lama. Bisa kacau.
Dan alasan yang membuat Mbak Sofi selalu menjawab tak jelas ketika saya bertanya kapan pulang, adalah karena Kalina.
Saya merindukan perempuan itu.
Merindukan Mimo.
"Maminya kangen nggak sama saya?" saya balik bertanya.
Dia mendengus. "Harus bilang, ya?"
Saya bergumam pendek. "Saya mau denger."
"Suara Mimo bilang kangen?" Dia tertawa.
"Suara maminya bilang kangen."
Dia diam cukup lama sampai saya harus memastikan bahwa sambungan telepon masih terhubung. Lalu kembali bersuara dengan kalimat, "Saya kangen, Mas."
Rasanya saya ingin minat jarak sampai jadi tersisa beberapa langkah untuk bisa dengan cepat menemui Kalina. Untuk memeluknya, untuk mengusap rambut serta punggungnya, untuk menciumnya, untuk menatapnya sepuasnya.
"Mas?" dia memanggil saya lagi. Kali ini dia yang seolah memastikan saya masih ada di sambungan telepon itu dan mendengarkan pernyataannya. "Kok nggak jawab?"
"Saya harus jawab apa?" saya mencoba untuk menggodanya. "Kamu nggak nanya apa-apa tuh sama saya."
Kalina berdecak. "Tau ah! Males."