April 2025
—Jati Samudra
Ada sesuatu yang aneh dan tidak biasa yang saya rasakan setiap kali saya bersama Kalina. Sesuatu yang … menyenangkan tapi juga terasa asing. Seperti ada yang terisi kembali di sudut-sudut hati yang dulu sempat berongga. Seperti ada yang memberi obat pada luka yang beberapa waktu lalu sempat kembali basah.
Entah di sebelah mana, saya merasa bahwa nama Kalina tanpa sadar menyelip untuk menghangatkan perasaan dan kehidupan saya yang semula berjalan tanpa tahu akan berakhir seperti apa. Seolah Kalina memberi saya babak baru dalam kehidupan yang semula datar dan pernah ingin sekali saya akhiri. Seolah Kalina, dengan kucing abu-abunya memberitahu saya bahwa saya tidak merasakan sakit sendirian, ada orang lain yang juga merasakannya, yang sama-sama saling menggenggam untuk menguatkan.
Perasaan jenis apa ini? Saya tak berani menyimpulkan. Rasanya masih terlalu dini, masih terlalu banyak tapi, masih terlalu banyak apa dan bagaimana. Dan apa yang pernah terjadi pada saya sebelumnya membuat saya terlalu takut untuk memulai sesuatu dengan perasaan menyenangkan ini.
Untuk saat ini saya hanya ingin menikmati waktu yang saya habiskan bersama Kalina dengan perasaan ini lewat setiap percakapan yang kami jalin di ruang obrolan ponsel, setiap percakapan di telepon meski kami sedang sama-sama di rumah yang hanya berjarak beberapa langkah ini, atau pada setiap pertemuan kami yang bisa dilakukan di mana pun.
Beberapa hari lalu Kalina tanpa mengatakan apa-apa pada saya sebelumnya, begitu saja datang ke bengkel bersama Mimo—sepertinya jika dia ke bengkel, dia memang tidak pernah memberitahu saya terlebih dulu. Bedanya, jika sebelum-sebelumnya Kalina selalu datang tanpa alasan atau dengan alasan yang dia buat-buat—saya tahu itu, saya bisa menebaknya hanya dengan melihat bola matanya yang bergetar setiap kali saya tanya alasan kedatangannya. Kali ini Kalina datang dengan tujuan yang jelas.
“Mau lihat kamu kerja,” katanya.
Saat itu kebetulan saya sedang mengerjakan pesanan kerangka kursi untuk dibuat sofa. Dia datang dengan pakaian rapi; celana panjang dan kaus lengan pendek—setelah hampir setiap hari saya melihatnya terbalut baju tebal dan panjang, itu pertama kalinya saya melihat dia menggunakan kaus lengan pendek, karena memang cuaca sudah mulai panas. Tapi rambutnya tetap digulung ke atas, membuat leher jenjangnya terlihat dengan baik. Apa tak apa saya mendeskripsikan Kalina seperti ini? Saya hanya ingin bilang bahwa dia … terlihat cantik bahkan hanya dengan mengenakan kaus dan rambut cepolnya
Berbeda dengan Kalina, saya yang sedang bekerja hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong yang penuh dengan serbuk kayu dan tubuh yang berkeringat. Mungkin kalau dia mengatakan sebelumnya jika akan datang, saya akan bersiap. Setidaknya tidak tampil dengan serpihan kayu di wajah.
“Di sini berisik,” ujar saya padanya yang bersikeras ingin mengikuti saya ke tempat pemotongan kayu.
“Nggak apa-apa.”
Saya mendesah, karena tetap tidak ingin membawanya ke sana, karena suara mesin yang bising dan debu kayu yang banyak, akhirnya saya membawanya ke tempat pengecatan.
“Pakai ini.” Saya memberikan masker mulut padanya. “Baunya lumayan nyengat.”
“Kamu nggak pakai?”
“Saya udah biasa, Kalina.”
Saya tahu, sejak kedatangannya pertama kali yang katanya ingin membuat kursi itu, orang-orang di bengkel banyak yang mempertanyakan identitasnya meski tak langsung bertanya pada saya. Siapa gerangan perempuan cantik yang membawa kucing, yang bisa masuk ke ruangan Pak Jati itu? Pelanggan? Mungkin tidak, karena Pak Jati tak mengatakan apa pun soal pesanan perempuan itu. Yang jelas, pasti tamu spesial. Karena memang hanya beberapa pelanggan penting saja yang saya bawa masuk ke ruangan pribadi saya untuk membicarakan hal yang tak boleh didengar oleh karyawan bengkel yang lain. Tamu dan pelanggan biasanya diterima lebih dulu oleh Hana, kami punya ruangan lain untuk membicarakan soal pesanan.