September 2021
From: Kalina Paramita
Jati Samudra, ada banyak banget hal yang nggak bisa kita lupain di hidup ini, kan? Entah tentang kesedihan atau kebahagiaan. Kamu pasti setuju. Ada alasan kenapa aku suka nulis jurnal yang kadang butuh waktu satu jam sendiri untuk membuatnya. Untuk memilih kata, untuk memilih pena atau spidol mana yang akan aku pakai, atau untuk memilih stiker apa yang cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi hari itu. Alda kadang mencibir soal ini, katanya aku buang-buang waktu. Padahal, dari kegiatan menulis jurnal, aku bisa mengenang kembali apa pun yang terjadi dalam kehidupanku.
Khususnya untuk hari itu, satu hari di musim pancaroba bulan September, tujuh bulan setelah aku dan Mas Aksel meresmikan hubungan kami sebagai sepasang kekasih.
Apa kamu bisa tebak kapan aku mulai pacaran dengan Mas Aksel? Iya, bulan Februari. Bulan yang katanya penuh cinta. Tepat di hari kasih sayang Mas Aksel menyatakan cintanya dan aku menerimanya.
Tapi aku nggak sedang ingin cerita soal hari itu, Jati Samudra. Aku ingin cerita soal satu hari di bulan Agustus.
Sebelumnya, kamu perlu tahu dulu kalau setelah aku pacaran dengan Mas Aksel, aku nggak jadi orang rumahan lagi, karena Mas Aksel berhasil membuatku menaikkan taraf keluar kamar dari yang biasanya aku bisa tidak keluar kamar seharian jadi hampir setiap hari aku pergi keluar untuk bertemu dengannya.
Katakan saja, Jati Samudra, bahwa aku ini bucin. Karena mungkin begitu.
Jika pekerjaanku sudah selesai, dan Mas Aksel sudah pulang dari kampus, aku biasanya akan datang mengunjunginya di Ask Bread. Kami jarang berkencan di luar, Jati Samudra. Ask Bread sudah jadi tempat berkencan resmi kami, atau aku boleh menyebutnya sebagai rumah kedua? Karena saking seringnya aku ke sana, dan bukan lagi sebagai pelanggan, tapi pacar pemilik tokonya yang membuat aku bisa dengan mudah melenggang masuk ke dalam satu ruangan yang Mas Aksel sebuah sebagai kantornya di Ask Bread.
Hari itu, sore, dan di luar mendung. Mas Aksel bertanya apa aku akan datang ke toko atau tidak karena dia sudah pulang dan mengusulkan akan menjemputku kalau aku mau ke toko, juga menyarankan bahwa mungkin kami bisa menonton film di bioskop karena memang sudah lama kami tidak melakukannya. Sayangnya, aku belum menyelesaikan pekerjaanku. Aku masih harus menyelesaikan gambaranku untuk buku komik terbaru karena tenggatnya sudah dekat, dan editor ku sudah menagihnya.
"Kamu sampai malem nggak di sana?" tanyaku pada Mas Aksel yang menelepon beberapa saat lalu.
"Kayaknya …. Aku lagi ngecek tugas mahasiswaku. Kamu mau ke sini?"
"Mau …."
Mas Aksel terkekeh mendengar rengekanku. "Ya udah, selesain aja dulu itu. Aku tungguin. Mau aku jemput?"
"Apa nggak kamu aja yang sekalian ngecek tugasnya ke sini? Kamu bisa bawa tugas-tugas itu ke sini, kan? Kalau aku nggak bisa bawa tablet sama komputerku ke sana."
Dia kembali tertawa, kali ini lebih keras, lebih renyah. Aku semakin tak tahan ingin segera bertemu. Sudah aku bilang, kan, Jati Samudra? Aku ini bucin. Kamu boleh kok bergidik jijik kalau memang menurut kamu ini menggelikan. Tapi untuk orang yang sedang jatuh cinta, itu sungguh menyenangkan. Iya, kan? Aku rasa, kamu pasti merasakannya juga. Mencintai dengan penuh seseorang yang mencintai kamu itu sungguh hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan. Aku menyukainya.
"Mau, sih …," katanya. "Tapi kalau habis itu aku kena damprat papa kamu, bahaya. Tahu, kan? Udah berbulan-bulan pacaran sama kamu, aku tuh masih suka salah tingkah kalau ketemu Prof. Bima. Kalau salah kata atau tingkah laku, nanti aku nggak dapet restu, gimana?"
Kali ini aku yang tertawa. Kamu tahu nggak, Jati Samudra? Mas Aksel tuh waktu awal tertarik sama aku lewat cerita-cerita kecil yang Papa bagikan, dia begitu terang-terangan mengungkapkannya sama Papa. Menanyakan tentang aku secara halus dan tersirat, meminta nomor ponselku, menanyakan status hubunganku. Dia sangat berani. Tapi setelah kami berpacaran, dia selalu terlihat takut dan ragu-ragu setiap bertemu Papa. Sikapnya yang memang sudah sopan, jadi semakin sopan. Sebelum Papa tahu kami berpacaran, Papa merasa aneh dengan perubahan sikap Mas Aksel. Tapi setelah tahu, Papa selalu tertawa setiap kali menceritakan hal itu padaku.