November 2020
From: Jati Samudra
Kalina, ketika saya meninggalkan kamu setelah memberikan surat undangan pernikahan saya dengan Rissa, tepat setelah saya masuk ke mobil, Rissa menelepon saya. Kamu tahu, Kalina? Jatuh cinta itu memang menyenangkan, buktinya saya bisa tersenyum sedemikian lebarnya hanya dengan melihat kontaknya muncul di layar ponsel.
Kamu pasti akan menganggap saya gila. Iya, kan? Nggak apa-apa. Saya memang gila. Gila karena cinta.
"Halo, Ris?" sapa saya dengan memutuskan untuk tidak menghidupkan mesin mobil dulu.
"Kamu lagi di mana?" dia bertanya. Suara terdengar tak biasa. Saya bisa merasakannya. Mungkin itu yang disebut kekuatan cinta, Kalina.
"Habis anterin surat undangan ke temen aku." Kamu nggak keberatan kalau saya sebut kamu sebagai teman, kan, Kalina? Karena memang saya betul-betul ingin berteman dengan kamu.
"Oh ...," sahutnya pendek. Semakin terdengar ada yang jangan, tapi saya tak memutuskan untuk bertanya. Sebab Mbak Sofi pernah memberitahu saya jika yang paling stres saat sedang menyiapkan segala keperluan pernikahan adalah pihak perempuan. Bahkan lelaki pun tak bisa menolong terlalu banyak meski sudah menguatkan dan meringankan segala keperluan. Katanya, yang bisa pihak lelaki lakukan hanya diam dan tak banyak tanya, karena itu tambah bikin stres.
"Jati," panggilnya setelah sambungan telepon itu hening untuk beberapa waktu. "Bisa kita ketemu?" tanyanya dengan ragu.
"Ketemu?"
"Iya, sebentar aja. Ada yang mau aku omongin."
"Nggak bisa diomongin di telepon? Soalnya aku mau ke tempatnya Dio."
"Please ..., sebentar aja."
Kalina, suara Rissa saat itu syarat akan keputusan asaan yang cukup dalam. Dia memohon agar saya menemuinya saat itu juga seharusnya sudah cukup untuk membuat saya berpikir hal buruk. Sayangnya, cinta ini gila dan cinta ini membuat buta benar adanya. Saya nggak memikirkan hal apa pun dalam perjalanan menemuinya di sebuah kafe yang ketika itu cukup sepi. Saya yakin, ada alasan tersendiri yang membuat Rissa memilih kafe itu dibanding kafe lain yang sering kami kunjungi.
"Hai," saya menyapanya yang sudah lebih dulu sampai, duduk sendirian di kursi paling pojok bersama minuman kesukaannya. Lalu membubuhkan kecupan singkat di pipinya. Kamu tak apa kan kalau saya cerita soal ini, Kalina?
Rissa hanya membalas dengan senyum singkat.
Kemudian saya duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh puja, masih tidak menyangka bahwa seminggu lagi perempuan di depan saya itu akan jadi istri saya.
"Kenapa?" saya berinisiatif tanya lebih dulu, meraih tangannya yang berada di atas meja, namun dia menariknya, melepaskannya selah saya bukan seseorang yang biasa menyentuhnya.
Dari sana saya mulai sadar bahwa ada hal yang tidak beres, yang mungkin tidak mengenakan.
Kalina, mungkin saya tidak salah, karena ketika Rissa menunduk dan kalimat itu terlontar, dunia saya seolah runtuh saat itu juga.
"Maaf ...." Itu kata pertama yang dia ucapkan ke saya, Kalina. Satu kata yang punya berjuta arti. Saya masih menebak, mencoba untuk berpikir positif bahwa tak ada hal tidak mengenakan yang akan terjadi karena permintaan maafnya. Saya masih berusaha untuk tidak berpikir hal buruk.
Tapi, Kalina ..., usaha saya runtuh begitu saja di detik berikutnya.
"Aku rasa ..., aku nggak bisa ngelanjutin ini." Dia menunduk, begitu dalam, seperti memang enggan menatap mata saya.