Januari 2025
—Kalina Paramita
Langit sudah menggelap ketika aku sampai rumah, dan aku melihat mobil Jati terparkir di depan rumahnya.
Aku nggak berniat pergi selama itu, sungguh. Tapi memikirkan kembali secepat kilat rasanya tidak nyaman mengetahui dengan siapa Jati bertemu sebelum aku pergi tadi. Dia Rissa. Rissa yang namanya tercetak di surat undangan pernikahan yang Jati beri padaku empat tahun lalu, kan? Rissa yang itu. Meski pertemuan mereka tidak lama, aku tetap nggak bisa kembali secepat itu. Barangkali Jati butuh waktu sendiri. Barangkali Jati tak ingin orang lain mengganggunya dalam waktu-waktu itu. Jadi, aku hanya berharap Mimo tidak bikin ulah dengan mengacaukan bengkel, buang air sembarangan, atau tiba-tiba hilang dari pandangan Jati.
Dan selama itu pula aku menunggu pesan singkat yang katanya akan Jati kirimkan soal varian rasa mi instan yang ingin dibelinya. Mungkin dia benar-benar lupa. Mungkin juga sebenarnya hanya sekadar basa-basi sampai membuatnya lupa.
Aku menatap sekantong plastik besar berisi mi instan dari dua merek terkenal yang hampir semua variannya aku beli. Aku meringis sendiri melihatnya. Tapi daripada datang dengan tangan kosong karena Jati tak kunjung memberitahu, lebih baik aku beli semuanya, tak peduli pegawai kasir yang melayaniku tadi menatap geli karena mungkin dia pikir aku pembuat konten creator yang akan mencicipi semua mi tersebut sambil berbicara ke kamera.
Meninggalkan semua belanjaanku di dalam mobil karena memutuskan untuk langsung ke rumah Jati tanpa masuk dulu ke rumahku, aku mengetuk pintu tersebut, dan tak lama pemiliknya membukakan pintu.
"Hai," sapanya. "Udah pulang?"
Dia kelihatan begitu ceria, seolah tak ada yang terjadi padanya beberapa jam lalu. "Iya, barusan," jawabku dengan senyum getir.
"Ayo, masuk. Mimo di dalem. Lagi makan." Dia mempersilakan aku masuk, dan aku mengikutinya. Itulah pertama kalinya aku masuk ke rumah Jati Samudra selama dua bulan tinggal di sini.
"Lagi makan?"
Dia menatapku, mengangguk bingung. "Iya, tadi saya beli ikan di warteg buat makan Mimo, kelihatannya dia laper. Mau saya beliin makanan kucing, takutnya Mimo nggak cocok sama merek tertentu. Jadinya saya beliin ikan beneran aja. Nggak apa-apa, kan?"
Jati agaknya memang begitu, selalu begitu. Selalu memperhatikan hal kecil yang kadang dianggap remeh oleh sebagian besar orang. Dia memilih membelikan aku obat herbal Tolak Angin saat sakit, alih-alih paracetamol atau obat demam lainnya karena takut aku punya alergi terhadap jenis obat khusus. Dia memilih membelikan Mimo ikan utuh alih-alih makanan kucing instan, karena takut Mimo nggak cocok terhadap merek makanan kucing tertentu. Entah mengapa aku menyukai hal itu.
Di lantai, Mimo kelihatan sedang menikmati santapannya di sebuah piring makan. Kelihatan begitu lahap memakan ikan yang sudah dihancurkan terlebih dulu itu sampai tak menyadari bahwa maminya datang untuk menjemput. Mimo tidak tiba-tiba ingin sama Jati terus dan nggak mau pulang denganku, kan? Aku jadi khawatir.
"Saya jadi tambah ngerepotin," balasku setelahnya.
Dia menggaruk rambutnya. "Nggak sama sekali. Saya seneng malah bisa urusin Mimo. Soalnya belum pernah punya hewan peliharaan." Lalu nyengir.
"Oh, iya. Ini," aku memberikan kantong plastik tersebut padanya.
"Ini … apa?" Dia kelihatan bingung.
"Eum … mi ins—"
"Astaga! Iya, saya lupa kalau nitip mi instan sama kamu." Dia beneran lupa, lalu dengan tatapan tercengang dia menatap isi kantong plastik tersebut, membuatku meringis.