Desember 2019
From: Jati Samudra
Rissa, ada hal lain yang membuat aku begitu yakin untuk menyatakan cinta pada kamu.
Takdir.
Apa itu terdengar lucu kalau aku memang sebegitu percaya dirinya pada takdir kita yang baik? Mungkin iya, makanya setelah selesai sama kamu, aku berusaha mengontrol diri untuk nggak terlalu percaya diri sama semua hal.
Terutama pada takdir yang baik.
Kita pertama kali ketemu waktu SMA, di sekolah yang sama. Lalu kuliah di kampus yang sama. Sampai kerja pun di perusahaan yang sama. Aku tahu kamu jumlah mantan kamu selama kenal kamu, kamu juga begitu. Tapi apa salah kalau aku percaya diri sama sesuatu yang baik tentang kita setelah waktu panjang yang kita lewati bersama?
Mungkin aku salah membaca pesan semesta perihal takdir kita, makanya aku sebegitu percaya dirinya soalnya kehidupan masa depan kita.
Tapi, Rissa …, sejak awal kamu memutuskan untuk menerima aku jadi pacar kamu, apakah pernah sedikit saja kamu percaya hal baik soal takdir masa depan kita?
"Dio bilang ada toko roti enak deket sini, lho."
Aku menoleh, menatap kamu yang fokus ke jalanan, mencari letak toko roti tersebut. "Mau coba? Mbak Sofi kemarin baru cerita kalau Farid lagi susah banget makan nasi, maunya roti terus."
"Ya udah, sekalian aja beli yang banyak buat Farid. Duh, aku kangen Farid banget. Udah lama nggak sih aku nggak ketemu sama Farid?" Kamu tahu nggak kalau aku nyaris kehilangan fokus menyetirku karena senyum kamu saat itu? Yang kelihatan begitu bahagia, begitu antusias.
"Kamu kalau kangen aku, begitu juga nggak ekspresinya?"
Kamu tiba-tiba menatap malas, memutar bola mata, dan aku tertawa. "Bentar, aku tanya Dio dulu toko rotinya sebelah mana."
Kita baru pacaran satu bulan, tapi terlalu banyak yang berubah terhadap kita. Iya, kan?
Dari mulai sapaan yang berubah jadi lebih akrab. Panggilan sayang yang terasa lebih istimewa. Intensitas bertukar kabar dan cerita. Sentuhan fisik yang tak lagi dilakukan dengan ragu. Sampai hubungan kamu sama keluargaku pun terlihat semakin akrab sejak tahu aku berhasil jadiin kamu pacar. Tahu nggak, Rissa? Ibu sama Bapak itu ngebet banget pengin jadiin kamu mantu.
Sayangnya, perubahaan yang terlalu banyak itu, yang terlalu cepat itu, nggak aku ketahui kalau itu sinyal dari semesta bahwa semuanya nggak akan berakhir dengan baik. Semesta buat aku terlena dengan segala kebahagiaan yang aku dapat, sampai aku lupa setiap hal kecil yang kamu keluarkan, mengandung banyak arti yang selalu aku sesali sampai akhir.
"Ask Bread?" Aku membaca plang nama toko roti di kejauhan.
"Iya. Kata Dio, nama tokonya Ask Bread." Dan kamu menunjukkan satu foto yang dikirim Dio melalui pesan singkat, foto bekas bungkus roti yang bertuliskan Ask Bread.
Toko roti itu terletak di sisi jalan di pusat keramaian toko. Aku nggak terlalu suka lewat jalanan itu karena ramai dan hampir selalu macet di jam-jam sibuk, tapi karena hari itu kamu bilang pengin coba roti yang direkomendasikan Dio, aku membelokkan stir ke sana, ke sebuah toko yang jika dilihat sekilas dari luar terlihat begitu nyaman dengan nuansa modern yang minimalis. Kamu pasti cium aroma roti yang wangi itu, kan? Makanya ekspresi kamu waktu kita sampai di tempat parkirnya, bahagia banget.
"Kamu aja yang turun, ya?"
Aku mengerutkan kening. "Kenapa? Kan kamu yang mau beli roti."
"Aku tunggu sini aja deh. Kamu beli yang mana aja, terserah. Aku suka semua jenis roti kok." Kamu senyum, dan aku nggak tahan buat cium pipi kamu.