A dark romance story
Contain forced submission
Adult story suitable for 21+ only!
Kisah seorang pelayan muda dengan seorang lord yang baru saja menjadi pewaris baru sebuah pertanian.
Tak punya pilihan, Rosalind menjauh dari pria itu lalu berjalan menuju tangga mendahului Cedric. Pria itu mengikutinya dari belakang dan Rosalind bisa merasakan mata pria itu menetap di bokongnya, menikmati gerakan tersebut saat mereka menaiki tangga menuju kamar tidur. Ia berjalan agak pelan, bagian di antara kedua kakinya masih terasa sakit dan tak nyaman tapi sepertinya sang earl tidak akan menerima alasan apapun, jadi tidak ada gunanya mencoba mencari belas kasihan.
Rosalind menelan ludahnya keras, setiap langkah yang diambilnya terasa seperti selamanya ketika ia berjalan lambat menuju nasib yang sedang menantinya. Pria itu memerintahnya agar membawanya ke kamar tidur utama – yang sebenarnya sudah lama tidak ditempati oleh Hugh ketika dia semakin sakit dan mereka memutuskan untuk menggunakan kamar di lantai satu, sehingga berdekatan dengan Rosalind sehingga ketika Hugh membutuhkan sesuatu, Rosalind bisa segera menghampiri pria itu.
Ia masuk ke dalam kamar Hugh, yang sekarang sudah menjadi kamar Cedric karena pria itulah sang pemilik baru dan Rosalind kembali sesak. Kamar ini begitu besar tapi Rosalind merasa ia tidak mampu bernapas. Ia berjalan menuju ranjang besar di tengah kamar, di atas hamparan karpet Turki tebal. Di seberangnya, ada perapian tinggi, di bagian lain ada lemari kayu panjang yang mewah dan perabotan-perabotan antik mahal tersebar di setiap sudut ruangan. Walaupun hidup sederhana di Stonebury, tapi selera mahal Hugh masih tetap terbawa hingga ke kamar tidurnya. Bisa dimengerti, pria itu berasal dari keluarga yang kaya raya. Tapi walaupun kaya, dia sungguh berbeda dengan Cedric Wallington, batin Rosalind dalam hati.
Begitu tiba di tepi ranjang, Rosalind membuka penutup selimut sutra itu sementara Cedric menyalakan lampu minyak di beberapa sudut sehingga tempat itu seolah berkilau keemasan dalam gelap, menciptakan semacam sensasi yang mengaduk perut Rosalind. Ia lalu duduk di ranjang, menunduk, masih merasakan lembap di antara kedua kakinya dan merasa sungguh malu. Dan entah bagaimana, pria itu bisa membaca pikirannya.
Dia bergerak mendekat lalu duduk di tepi ranjang di sebelah Rosalind. "Mengapa wajahmu bersemu? Malu? Kau tidak perlu merasa malu, setiap wanita memiliki gairah, itu hal yang normal."
Rosalind tidak tahu bagaimana pria itu bisa mengerti apa yang tengah dipikirkannya.
Ia menggeleng. "Tidak, ini tidak normal. Aku seharusnya tidak boleh merasakan apapun ketika menjalankan... tugasku dalam kesepakatan kita ini."
Pria itu tertawa pelan. "Ah Rosalind yang polos, kau mungkin tidak mengerti, tapi jangan cemas, kau akan segera mengetahuinya."
"Kau boleh memanggilku Rosie."
"Apa?"
"Rosie. Rosalind..." Ia hanya tidak mau pria itu memanggil nama lengkapnya, terlalu intim, terlalu pribadi, hanya kedua orangtua dan Hugh yang pernah memanggilnya dengan nama tersebut. Ia tidak mau Cedric menjadi salah satunya.
"No. Rosalind lebih cocok untukmu. Dan aku menyukainya. Nama itu... membuatku bergairah hanya dngan menyebutnya. Seksi. Rosalind... Rosie terdengar terlalu naïf, tidak cocok untukmu."
Sialan pria itu! Tapi Rosalind bersemu. Tapi ia memang tidak polos lagi, bukan? Cedric sudah memastikan hal itu.
"Sekarang, bisakah kita berhenti berbasa-basi?" tanya pria itu sedikit geli. Ia terkejut saat pria itu berbisik di dekat telinganya. "Waktunya bersenang-senang."
Ia berjengit pelan merasakan napas panas pria itu.
"Nah, seperti itu lebih cocok, aku suka dengan respon alamimu yang tidak dibuat-buat. Sangat menggairahkan, Rosalind."
Tangan pria itu kemudian bergerak ke paha Rosalind, mengusapnya melalui kain katun itu dan membuat tubuh Rosalind bergetar, oleh rasa takut juga gairah. Ia harus menghentikan perasaan ini. Pria itu boleh bebas berbuat apa saja pada tubuhnya tapi Rosalind harus membuat dinding pemisah antara mereka berdua. Jika tidak, maka pria itu juga pasti akan menguasai dan merusak jiwanya. Mungkin karena tubuh Rosalind menegang, pria itu kembali berbisik di telinganya.
"Ini adalah pelajaran pertamamu malam ini bahwa respon yang ditunjukkan oleh tubuhmu adalah hal yang alami," ujar pria itu sambil menyingkapkan ujung gaunnya hingga jarinya dengan pelan dapat menyelinap masuk ke paha dalam Rosalind. Pada saat bersamaan, pria itu meraih tangan Rosalind dan membimbingnya ke arah celananya, tempat di mana pusat gairahnya mulai mengeras. "Kalau kau tidak siap saat aku memasukimu, kau akan merasa sangat kesakitan."
Rosalind menarik tangannya pelan dan bergetar saat jemari pria itu menyentuh bagian tengah tubuhnya. Pria itu berkata bahwa jika ia tidak siap, maka ia akan kesakitan. Tapi tadi pagi, pria itu sudah menggunakan mulut dan tangannya untuk menyiapkan Rosalind untuk menerimanya, tapi apa yang terjadi? Rasanya tetap begitu menyakitkan. Ia tidak berani membayangkan jika pria itu benar-benar mengasari dan memperkosanya tanpa mempedulikan apapun. Rosalind merasakan pahanya kembali tersentak halus dan napasnya menjadi lebih cepat ketika jari-jari pria itu pelan-pelang menggosoknya melewati celana dalam yang dikenakannya. Sentuhan Cedric ringan, pria itu bahkan tidak meningkatkan iramanya ataupun tekanannya, dia juga tidak terburu-buru, alih-alih tergesa seperti tadi pagi, kali ini pria itu memilih untuk menggoda Rosalind pelan dan membuat tubuhnya menyerah.
Tubuh Rosalind menegang tapi kemudian ia berusaha untuk lebih santai, membiarkan tubuhnya mulai merespon. Ia tidak lagi mencoba menahan dirinya. Jika ini yang diinginkan oleh pria itu, maka inilah yang harus diberikan oleh Rosalind. Tujuannya adalah untuk membuat pria itu puas dan senang, bukan? Jika Cedric suka bermain-main seperti ini, seolah dia adalah serigala yang sudah memojokkan mangsanya yang tak mampu lagi melawan, maka biarkan saja, Rosalind akan mengikuti permainan pria itu. Ya, ia memang membenci Cedric, tapi pilihan apa yang ia miliki? Lagipula, walau benci mengakuinya, tangan yang sedang menyentuhnya itu membuat tubuh Rosalind berdesir panas dingin, bagaimana bibir pria itu menyalakan bara panas di kulitnya. Logika dan pikiran Rosalind memang memerintahkannya untuk merasakan hal sebaliknya, tapi tubuhnya tidak menginginkan pria itu berhenti menyentuhnya. Rasa sakit itu kembali lagi memenuhi bagian tubuh dalamnya, tapi kali ini bukan rasa sakit perih yang tajam. Rosalind merasakan sesuatu yang berbeda, denyut kebutuhan yang menuntut untuk dituntaskan.