Reala : si pemilik kolam

10.8K 1.1K 25
                                    

Steven di buat kelimpungan saat lagi-lagi mendapati keponakannya yang digotong ke rumah sakit, namun dengan keadaan lebih buruk dari yang terakhir kali dia lihat.

"KENAPA LAGI?!!" tanyanya marah.

Arga sampai terkesiap ketika mendengar pamannya yang mengeluarkan emosinya, "Aslan" ucap Arga pelan.

"SIALAN ITU?!! KALI INI KENAPA DENGAN PSIKOPAT ITU?! DIA ADIK KALIAN!!"

"Arrgh! Sudahlah, berbicara dengan orang-orang egois seperti kalian hanya membuang waktu" Steven menunjuk-nunjuk satu persatu orang yang berada di depannya, mulai dari Arga, Frans, Kaisar dan Selena.

Entah kemana biang kerok dari semua kekacauan ini.

Tatapan sinis dan emosinya memuncak, Steven pergi menuju tempat Arsha di tangani.

"Stev! Tunggu!" Panggil Frans, mengejar langkah adiknya yang tergesa-gesa. Namun Steven tidak mendengarkan dan membiarkan saja saat Frans mengikutinya.

Selena kembali terisak kecil, dadanya sedikit sesak karena merasakan serangan jantung kecil. Siapa yang tidak panik dan takut saat melihat darah dan wajah pucat seseorang, sedetik kemudian waktu seakan berhenti untuk membuat kita menyaksikan dengan jelas tragedi itu, meski hanya sekian detik, kejadian itu sudah terbingkai rapi dalam ingatan.

Saat melihat Arsha yang begitu lemah dan berdarah-darah, Selena pikir pemuda itu sudah meninggal.

"Seharusnya gak begini!! Kalian harusnya membela Arsha! kalian itu saudara! SAUDARA!!"

"KENAPA KALIAN GAK BELA ARSHA?!!"

Selena berteriak keras, bertanya tentang banyak hal yang ada di pikirannya. Dia menyebutkan kata 'saudara' dengan jelas, ada perasaan marah, kecewa dan menyesal Bercampur menjadi satu dalam hatinya.

Mempertanyakan mengapa mereka tidak membela Arsha kemarin? Seandainya mereka memberikan ruang untuk Arsha menjelaskan semuanya, tentu semua ini tidak akan terjadi.

Perempuan itu berlari keluar rumah sakit, tidak ada yang berniat mengejarnya.

Keheningan tercipta sesudahnya, baik Kaisar ataupun Arga tidak ada yang berbicara, mereka tenggelam dengan pikiran masing-masing.

"Ayo" ajak Kaisar, dia pergi terlebih dulu ke tempat penanganan Arsha, meninggalkan Arga yang tidak bergeming dari tempatnya.

Dilain sisi, Aslan masih berada di dalam ruangan itu. Tepat di depan lemari besi tempatnya mengurung Arsha, apa yang telah dia perbuat pada adiknya?

Aslan menyentuh darah di sana, dengan tangan gemetar dia mengusap darah itu. "Maaf.. Arsha"

"Maafkan Abang..."

Air matanya luruh, meluncur jatuh dari mata tajamnya. Dadanya sesak pikirannya berkecamuk aneh, dia menyesalinya dan takut.

Takut kalau Arsha akan pergi karena ulahnya, takut Arsha akan membencinya dan takut akan kehilangan.

Aslan selalu menjadi orang pertama yang tidak bisa mengontrol emosinya dengan benar, sering kali tanpa dia sadari sifatnya yang temperamental sudah menyebabkan banyak kekacauan.

Menyebabkan adiknya terluka dua kali, tidak! Bahkan berkali-kali. Sejak dulu sampai sekarang, perbedaannya cuma satu, yaitu rasa penyesalan yang dia rasakan.

Perasaan bersalah itu berkumpul menjadi satu, seperti awan kumulonimbus, menerjangnya dengan kuat. Satu persatu adegan kekerasan yang pernah dia lakukan pada Arsha terputar jelas, seperti film action yang keren dimana salah seorang dari mereka terkapar tidak berdaya, sementara seorang lainnya berdiri gagah dengan bangga.

Reala : Who? | REVISI |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang