Rasa sakit dan duka melahirkan pembalasan dendam.
ft. Enhypen.
Selayaknya aktivitas normal siswa pada umumnya yang terus berpendar dengan kegiatan belajar. Kehidupan sembilan belas penghuni asrama satu Heuri High School berjalan sangat baik hingga j...
“Apa kata dokter?” tanya Jihoon pada Jeongwoo dengan dua tangan di dalam saku celana pendek.
“Cuma stres doang,” jawab Jeongwoo sesuai diagnosa dokter yang memeriksa kesehatannya tadi.
“Makanya jadi orang jangan kelewat rajin!” ceplos Haruto membuat empat pasang mata disana menatapnya. “Baru kelar ujian, belajar lagi buat tes beasiswa.”
“Maksud lo apa ngelarang orang rajin?” cengir Asahi duduk di ranjang Jungwon.
“Itu bukan karena belajar. Lo sering begadang main game, kan?” tukas Hyunsuk bersandar lengan di gawang pintu.
Jeongwoo hanya bergeming mendengarnya sebab Hyunsuk berbicara fakta. Belakangan ini ia memang begitu antusias naik level hingga sering lupa waktu.
“Omongan lo udah kayak ibu-ibu Asia, Suk,” kekeh Asahi.
“Masih pusing gak?” tanya Jihoon setengah minat. Jujur saja, kalau bukan karena ingat tanggung jawab yang ia pikul atas seisi asrama, Jihoon memilih tidak peduli pada siapapun.
“Still a little bit,” keluh Jeongwoo duduk di ranjang atas.
“Ya udah lo istirahat. Kalau besok masih gak enak badan, izin ke gue.” Jihoon tetap dengan tampang datarnya.
“Iya,” angguk Jeongwoo dengan wajah pucat.
“Semuanya keluar, biarin dia istirahat.” Jihoon melewati tubuh Hyunsuk di pintu begitu saja seolah tidak menganggap keberadaannya. Disusul Haruto dan Asahi dibelakangnya.
“Obatnya jangan lupa diminum ya, Woo.” Hyunsuk memencet sakelar lampu kamar itu dan pergi paling terakhir.
****
Mashiho terus berceramah di depan Sunghoon dan Junghwan sejak keduanya kembali dari supermarket dengan kondisi bagian depan mobil Jay setengah ringsek.
Telinga Sunghoon sendiri sudah panas mendengar celoteh dan tudingan Mashiho padanya. Bagaimana bisa laki-laki berwajah lucu itu tidak jemu terus-menerus bicara selama lebih dari setengah jam lamanya.
“Udah lah, Shi,” lerai Jay yang saat ini berdiri dekat mobilnya sembari mengawasi seorang montir memperbaiki kendaraan roda empat miliknya.
“Kalau gini, kan semuanya jadi susah,” dumel Mashiho dengan alis berkerut.
“Mau gimana lagi? Udah lewat.” Jay menghadapinya setenang mungkin. Dua tangannya bertaut di belakang tubuh.
“Berarti rejekinya montir. Bukan begitu, Pak?” Jay menarik si bapak montir kedalam topik.