2. The impolite man

5.3K 181 0
                                    

Tiba di luar gerbang sekolah, sesuatu mengenai kaki Leah membuat dia yang agak kaget sontak menunduk. Melihat sebuah mainan helikopter, Leah secara naluriah memungutnya. Ketika dia merasakan beratnya, dia mengetahui ini bukanlah mainan murah.

“Helikopter remote control? Bocah mana yang kehilangan ini?” tanya Esther begitu melihat dari dekat. “Mainan ini pasti mahal.”

Leah mengedikkan bahunya. “Aku juga ti—”

Ucapannya tidak selesai. Kali ini penyebabnya karena seseorang merampas mainan itu dari tangannya tanpa mengatakan apa pun dan berbalik begitu saja. Leah dan Esther spontan menatapnya. Leah tidak bisa menggambarkan penampilan orang itu karena dia menggunakan jaket hoodie berwarna abu-abu tua dan seluruh wajah dan kepalanya tertutup dengan tudung. Belum lagi orang itu sudah berjalan menjauh dari mereka, Leah hanya mengetahui bahwa pria itu sedikit bungkuk.

Tapi, apakah harus merampas begitu saja tanpa mengucapkan apa pun? Belum lagi, orang itu baru saja mengusap helikopternya yang kotor menyebabkan Leah yang melihat aksi sederhana itu sedikit tersinggung. Apakah tangan Leah kotor sampai tidak boleh menyentuhnya? Jika seperti itu, dia tidak akan menyentuhnya dan biarkan saja di aspal. Kakinya pun terasa sakit, jika dia perlu menambahkan!

“Hei!”

Tidak seperti Leah yang hanya bisa mengeluh di dalam hati, Esther selalu berani untuk menegur orang yang kurang ajar.

“Pencuri, berhenti di sana! Aku akan menghubungi polisi! Dasar tidak sopan!”

Leah menghentikan Esther. “Itu miliknya.”

Leah bisa melihat remot yang orang tadi pegang ketika membersihkan helikopternya. Belum lagi, pencuri tidak mungkin mengambil begitu saja dan berjalan santai menuju ke tempat asalnya sebelumnya. Dan juga setelah diteriaki, orang itu mengabaikan mereka tanpa gugup.

Esther mendengus. “Biarpun begitu tetap saja dia seperti bukan orang yang berpendidikan. Jika tergesa, dia bisa bilang itu miliknya lalu mengambilnya dengan baik-baik. Bukan seperti tadi.”

Leah kembali melihat punggung yang semakin menjauh. Ya, Esther benar juga. Leah mendesah.

Akan tetapi ... Leah menatap tangannya. Jika dia masih ingat, tangan pria tadi ketika tidak sengaja bersentuhan dengan tangannya terasa hangat.

“Bu Leah?”

Leah secara naluriah menoleh ketika suara yang tidak asing lagi memanggil namanya.

“Saya hampir saja salah mengira orang lain karena Bu Leah tidak menggunakan kacamata.” 

Di sana, berdiri seorang pria rupawan dengan pakaian rapi sedang menggandeng tangan mungil gadis kecil. Namanya Gabriel, seorang ayah dari salah satu muridnya. Dan gadis cantik di sebelahnya adalah anak perempuannya yang bernama Aurora.

“Anda terlihat cantik seperti ini.”
Ketika Gabriel tersenyum lembut, saat itulah Leah bersemu.

 “Pak Gabriel,” Leah balas menyapanya.

Beberapa hari yang lalu sekolah mengadakan aktifitas bersama orang tua mereka di taman sekolah. Duduk di kursi kosong, Leah melepaskan kacamata tuanya dan mengelap bagian hidungnya yang berkeringat. Hal itu sudah biasa dia lakukan selama jam mengajar mengingat hidungnya yang selalu membuat masalah tiap kali dia panas. 

Namun yang menjadi masalah baru kali ini adalah seseorang yang bukan guru maupun murid melihatnya dan berseru di sebelahnya.

“Saya tidak tahu alasan Anda menutupi kecantikan Anda dengan kacamata itu.”

Sontak saja Leah kaget sampai melompat dari tempat duduknya hanya karena kata cantik bertolak belakang dengan penampilan Leah. Dia bahkan tidak mengendus kedatangan Gabriel yang sudah berada di dekatnya.

Di saat Leah berdiri cepat setelah meletakkan kembali kacamata di pangkal hidung, dia melihat pria rupawan yang tersenyum hanya padanya.

“Saya tidak bohong.”

Dan hari senin ini, dengan hanya ucapan Gabriel itu, Leah mencoba hal baru setelah mencoba menggunakan lensa kontak berulang kali agar terbiasa di hari sebelumnya.

Esther tertawa singkat membawa Leah kembali ke masa sekarang. “Pak Gabriel memang selalu ingat apa yang dikenakan guru-guru di sini.”

Leah mengerjap singkat setelah mundur selangkah.

Ah … benar juga.

Gabriel bukan hanya memperhatikan satu orang. Karena keramahan dan kebaikannya, dia mengingat penampilan banyak orang. 

Hampir saja, Leah …, batin Leah yang tidak jadi kegirangan di dalam hati. Seharusnya dia tahu itu hanyalah tindakan kesopanan.

Gabriel, pria berumur 37 tahun. Pria ini memiliki tubuh yang tegap, tinggi, dan bidang. Wajahnya tampan pada usianya. Dia tahu bagaimana caranya berpakaian yang rapi. Dia tahu caranya tersenyum sopan. Dia pria yang ramah kepada seluruh guru di sekolah ini. Dia selalu menjemput anaknya, bukan sopir atau anggota keluarga yang lain. Yah bisa dikatakan, pria ini sangat sempurna sebagai seorang menantu idaman. Semua ibu pasti akan setuju jika dia melamar anak mereka.

Lebih sempurnanya lagi dalam versi Esther, pria ini adalah seorang duda kaya anak satu. Dari kabar burung yang didengar, istrinya meninggal setelah melahirkan Aurora.

Itu terdengar kasihan dan prihatin, namun bagi guru lajang lainnya itu merupakan kesempatan untuk mereka. Mereka berlomba-lomba menarik perhatian Gabriel entah itu hanya sekedar sapa jika bertemu ketika mengantar atau menjemput Aurora ke sekolah, bisa juga menjadi perbincangan yang cukup panjang.

“Apa Bapak tahu, Bu Leah digoda semua guru di sini hanya karena tidak menggunakan kacamata. Dia bilang kacamatanya patah,” Esther menambahkan ucapannya.

Dan Leah secara naluriah melirik Esther. Dia bersumpah dia akan menggunakan kacamatanya lagi karena malu digoda Esther.

“Menurut saya cukup bagus seperti ini. Iya kan, Bu Esther? Daripada hidung Bu Leah berkeringat terus?”

Sekarang, Leah kembali menoleh pada Gabriel. “Ah tidak, saya pikir rasanya aneh—”

“Bukankah semua guru juga beranggapan seperti itu, Leah? Itu tidak aneh. Kau lebih baik seperti ini. Mungkin jika kau ingin kembali menggunakan kacamata, kau harus mengganti kacamatamu yang lebih modis.”

“Be-begitukah?” Leah bertanya.

Esther mengangguk. Gabriel tidak menanggapi selain tersenyum pada Leah.

Karena mereka tidak menganggapnya aneh, mungkin Leah akan terbiasa mengajar menggunakan lensa kontak ke depannya.

“Oh ya, Pak Gabriel sudah tahu pertemuan orang tua nanti?”

Dengan pertanyaan dari Esther, Esther dan Gabriel mulai terlibat obrolan yang tampak santai. Leah mengambil kesempatan itu diam-diam melirik Gabriel. Ketika Gabriel menangkap basah dia dan memberinya senyum tipis, Leah dengan malu memalingkan wajahnya gugup.

“Kalau begitu, saya dan Aurora pamit dulu. Terima kasih untuk pelajaran hari ini, Bu Guru.”

“Terima kasih, Bu Esther dan Bu Leah. Sampai jumpa besok,” Aurora ikut berkata sopan.

“Iya, Pak Gabriel. Mohon berkendara hati-hati. Bye, Aurora,” Esther berseru dengan suara selembut yang dia bisa.

Sedangkan Leah hanya tersenyum kecil seraya mengangguk.

Sambil melihat seorang ayah yang membawa anaknya ke mobil mereka, Esther berseru dramatis, “Leah, aku tidak masalah jika menjadi ibu sambung Aurora.”

Hal itu sontak saja membuat Leah tertawa pendek.

Something About You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang